Kelompok Kerja Adat MRP (Lokakarya Land Tenure dan Hutan Papua) hotel sentani indah 17-18 Juli 2009

11 11 2009

LOKAKARYA LAND TENURE DAN HUTAN PAPUA

TEMA:

TANAH, SATU KULTUR, SATU HATI

SUB TEMA : HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH DAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DI TANAH PAPUA DALAM ERA OTSUS

HOTEL SENTANI INDAH, 17 – 18 JULI 2009

HARI/TANGGAL          : JUM’AT, 17 JULI 2009

PUKUL                         : 09.30 WIT

TEMPAT                      : HOTEL SENTANI INDAH

PEMBUKAAN

 MC ( Frida T. Kelasin )

Selamat pagi Bapak/ Ibu sekalian, melihat waktu kita sebenarnya acara ini sudah harus kita mulai. Namun ada beberapa kawan-kawan yang belum sempat hadir. Kita coba untuk memberikan toleransi waktu kepada kawan kita yang terlambat,karena mereka datang dengan meninggalkan waktu kerjanya, untuk itu kita akan snack dulu,waktu dan tempat kami persilahkan.

 REHAT : 15 MENIT

 Atas nama panitia kami menyampaikan selamat datang kepada Bapak Abdon Nababan dan terima kasih karena telah bersedia datang untuk menghadiri acara Lokakarya Land Tenure dan Hutan Papua, untuk itu waktu dan tempat Kami persilahkan.

MC ( Frida T. Kelasin)

Bapak/Ibu peserta Lokakarya yang kami hormati, kami persilahkan mengambil tempat duduk yang sudah disediakan karena acara akan segera dimulai, dan bagi peserta yang masih diluar ruangan kami persilahkan mengambil bagian di dalam ruangan. Peserta Lokakarya yang kami hormati, salam sejahtera  bagi kita semua dan puji syukur dalam nama Tuhan.  

Yang kami hormati Ketua MRP atau yang mewakili, Bapak Ketua DPRP Provinsi Papua atau yang mewakili, Bapak Kepala Instansi otonom dan vertical di Provinsi Papua dan Papua Barat, yang saya hormati Dekan Fakultas Kehutanan UNIPA Manokwari atau yang mewakili, juga yang kami hormati Ketua MPI Bakorda Papua, Ketua APHI Komda Papua, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Perempuan yang sangat kami hormati dan Para Anggota Majelis rakyat Papua serta Para undangan dan hadirin yang berbahagia.

Panitia mengambil thema dengan judul “Satu Tanah, Satu Kultur, Satu Hati” dengan Sub Thema “Hak-hak penguasaan atas tanah dan pembangunan kehutanan berkelanjutan di Tanah Papua dalam Era Otonomi Khusus”. Kalau kita membaca thema dan sub thema ini pasti kita berpikir apa yang menjadi tujuan Panitia membuat lokakarya ini. Panitia merasa bahwa selama ini ada kegelisahan dari masyarakat adat dan kemudian menjadi acuan bagi Panitia tentang fakta bahwa hutan selalu menjadi tempat yang termarginalkan bagi masyarakat adat. Hutan dianggap menjadi milik internasional sehingga semua orang berlomba-lomba untuk menggunakannya. Kita yang hadir di tempat ini adalah bagian yang mencoba untuk mencari solusi dari kegelisahan ini. Ketika masyarakat adat sejahtera maka pasti akan mampu juga untuk menopang Pemerintahan yang baik. Tadi kita harus menunda beberapa waktu, untuk menunggu Pak Abdon Nababan yang mengalami masalah keterlambatan untuk hadir di tempat ini, dan  Pak Abdon kini telah bersama-sama  dengan kita,sekali lagi kami selaku Panitia Lokakarya Land Tenure dan Hutan Papua, mengucapkan selamat datang Pak Abdon Nababan.

Kita akan masuk pada acara berikutnya yakni do’a yang akan dibawakan oleh Bapak Pendeta Benyamin Yantewo, selaku Ketua Pokja Agama MRP, dan kepada Bapak Pendeta Benyamin Yantewo waktu dan tempat kami persilahkan.

Do’a

MC ( Frida T. Kelasin)

Terima kasih kepada Bapak Pendeta Benyamin Yantewo selanjutnya kita akan masuk kepada sambutan-sambutan dan sambutan pertama akan disampaikan oleh Ketua Panitia, kepada Ketua Panitia, waktu dan tempat kami persilahkan kami persilahkan.

Ketua Panitia (Zainal Abidin Bay)

Satu Tanah, Satu Kultur, Satu Hati…………………………………

Yang saya hormati, ketua MRP, Kepala Dinas kehutanan, selamat datang Bung Abdon, Greenpeace, Saudaraku dari PNG, Para Tokoh Adat, Tokoh Agama dan peserta yang hadir pada kesempatan ini. Selamat pagi. Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena hari ini kita dipertemukan dalam  kegiatan Lokakarya ini. Ijinkan saya selaku ketua panitia menyampaikan rasa terimakasih kepada komponen yang telah membantu terselenggaranya Lokakarya baik tehnis maupun dukungan dana, dalam hal ini Samdhana Institute, Greenpeace dan Foker LSM Papua dimana kita tahu bahwa lembaga-lembaga ini memiliki perhatian besar bagi  kehidupan Masyarakat Adat di Tanah Papua.

Selanjutnya, dan ini bukan bahasa emosional atau ditafsirkan bahwa saya ingin mendeskreditkan siapapun tapi berdasarkan fakta bahwa apapun yang kita bicarakan soal tanah dan hutan yang berkaitan dengan rencana pengaturan tata ruang di Papua sebagaimana kita ikuti dalam seminar tata ruang di Swissbellhotel yang dilaksanakan oleh BAPPEDA Papua beberapa waktu lalu. Apapun itu, maka kita kembali pada pengaturan ruang kehidupan manusia itu sendiri terutama masalah jumlah penduduk di Papua. Kita punya data tentang jumlah penduduk di Papua, namun antara data satu dengan yang lain tidak sama, contoh jumlah penduduk menurut data  Provinsi Papua berjumlah 2.015.000 Jiwa, data Kabupaten/Kota berjumlah 2.700.000 Jiwa, data penduduk menurut USAID 2.600.000 Jiwa, sementara data Daftar Pemilih Tetap (DPT) KPUD Provinsi Papua berjumlah 2.020.000 Jiwa, dari semua data yang ada, mana yang dapat kita pegang karena ini berkaitan dengan kebijakan dan distribusi pembangunan yang harus dinikmati oleh warga Negara, tentu dengan selisih jumlah yang tidak jelas seperti ini maka dapat dipastikan bahwa sebagian masyarakat adat tidak pernah menikmati hak-haknya sebagai warga Negara. 

Bahwa data kependudukan kita menunjukkan angka perubahan penduduk di Provinsi Papua beberapa tahun kedepan sangat menguatirkan, jumlah penduduk pada tahun 1971 terlihat cukup tinggi pada saat itu yakni 887.000 Jiwa (96 %) dan Non Papua hanya 36.000 jiwa (4%), memasuki tahun 1995 s/d sekarang (24 tahun) penduduk asli Papua mulai mengalami tekanan urban, yakni 1.558.795 Jiwa (59 %) dan Non Papua 1.087.694 Jiwa (41 %).

Berdasarkan persentase pertumbuhan penduduk/tahun, Papua 1,67% dan Non Papua 10,5% menunjukkan bahwa pada tahun 2030, pertumbuhan orang  asli Papua baru mencapai 2.371.200 Jiwa (15,20 %) dan Non Papua telah mencapai angka yang sangat tinggi yakni 13.228.800 Jiwa (84.80 %).

Dengan melihat realitas tersebut maka kita harus lebih sungguh-sungguh mengikuti Lokakarya ini dan melahirkan rekomendasi yang mampu memberikan perlindungan terhadap orang asli Papua.

Untuk itu saya meminta dengan hormat kepada ketua MRP dalam hal ini wakil Ketua II MRP untuk memberikan sambutan sekaligus membuka acara ini dengan resmi. Itu saja yang bisa saya sampaikan dan terima kasih, selamat pagi untuk kita semua.

MC ( Farida T. Kelasin)

Terima kasih kepada ketua pantia, selanjutnya kepada ketua MRP atau yang mewakili untuk memberikan sambutan sekaligus membuka dengan resmi acara ini

Sambutan Ketua MRP yang diwakilkan oleh Wakil Ketua II (Dra. Hana S. Hikoyabi)

Syalom dan salam sejahtera untuk kita semua.pertama-tama saya menyampaikan permohonan maaf karena Ketua MRP tidak bisa hadir karena sedang melaksanakan tugas diluar kota. Saya juga menyampaikan permohonan maaf  karena Wakil Ketua I saat ini tidak bisa hadir karena ada dua undangan yakni di Uncen. Untuk itu saya akan mewakili Ketua membacakan sambutan ketua MRP.

 

Yang Terhormat :

  • Saudara Ketua DPRP Provinsi Papua atau yang mewakili
  • Kepala Instansi otonom dan vertical di Provinsi Papua dan Papua Barat
  • Dekan Fakultas Kehutanan UNIPA Manokwari
  • Ketua MPI Bakorda Papua
  • Ketua APHI Komda Papua
  • Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Perempuan
  • Para Anggota Majelis rakyat Papua
  • Para undangan dan hadirin yang berbahagia

Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua,

Mengawali sambutan kami pagi ini, mari kita panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan pertolongan-Nya sehingga pada pagi yang berbahagia ini kita diperkanankan mengikuti Lokakarya “Hak-hak Penguasaan Atas Tanah dan Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan di Tanah Papua dalam Era Otonomi Khusus”.

Sebelum kami lanjutkan sambutan ini, pada kesempatan ini pula kami mengucapkan selamat datang kepada peserta yang datang dari luar Jayapura, dan secara khusus juga kepada rekan kita yang datang dari Papua New Guinea untuk berbagi pengalaman dengan kita tentang pengalaman empirik pengelolaan hutan oleh masyarakat adat di Papua New Guinea.

 Saudara-saudara yang kami hormati,

Tanah Papua memiliki kekayaan keanekaragaman hayati (biodiversity) yang sangat tinggi di dunia. Papua menjadi salah satu “hot spot” di dunia karena memiliki kekayaan hayati yang tinggi. Dalam pengembaraannya seorang ilmuwan besar seperti Sir Alfred Russell Wallace mengungkapkan kekagumannya terhadap Papua :”Pulau Papua mempunyai lebih banyak obyek alam yang sangat indah dan baru bagi dunia ilmu pengetahuan dibandingkan dengan belahan dunia manapun…”. Hutan tropis Papua merupakan hutan tropis terluas ke tiga di dunia setelah lembah Amazon di Brasil dan Kongo di Afrika Tengah. Pulau Papua memiliki jenis anggrek alam terbanyak di dunia, hutan bakau terluas di dunia, dan masih banyak hal lagi keunikan lain yang hingga kini masih menjadi misteri bagi dunia ilmu pengetahuan.

 Saudara-saudara yang berbahagia,

Secara khusus, Tanah Papua memiliki luas hutan yang cukup luas, kurang lebih 40,3 juta Ha yang telah terdistribusi dalam berbagai fungsi hutan yang ada. Hutan Kawasan suaka alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) seluas 7.777.825 Ha; Hutan Lindung seluas 10.619.090 Ha; dan Hutan Produksi seluas 21.901.450 Ha. Kawasan hutan ini terdistribusi di berbagai kabupaten/kota dan Provinsi di Tanah Papua dan menjadi penting untuk dikelola secara bijaksana,adil, dan berkelanjutan yang pada akhirnya akan memberikan kemakmuran bagi masyarakat adat sebagai pemilik hak atas hutan, dan kontribusi nyata dalam peningkatan income bagi pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

Kenyataannya, sejak beberapa Orde lalu hingga sekarang, pembangunan kehutanan belum optimal dilaksanakan, terutama dalam system pengelolaan hutan produksi, belum sepenuhnya melaksanakan system pengelolaan hutan berkelanjutan. Hal ini dapat dibuktikan dengan pengelolaan hutan oleh HPH/IUPHHK sejak tahun 1970-an hingga sekarang ternyata belum dapat menjamin pengelolaan hutan secara lestari sesuai dengan sistem-sistem silvikultur yang benar. System silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan system-sistem silvikultur lain yang telah mengalami penyesuaian-penyesuaian, cenderung belum diterapkan pada semua kondisi hutan, sedangkan kondisi hutan produksi alam Papua sangat spesifik meliputi biofisik, komposisi keanekaragaman hayati maupun social masayakat di dalam dan di sekitar hutan sehingga pola pengelolaan hutan di Papua perlu mempertimbangkan beberapa aspek agar saling mendukung dalam memberikan manfaat yang berkelanjutan, baik secara social, lingkungan dan ekonomi.

Dampak langsung dari kehadiran perusahaan-perusahaan pengusahaan hutan di hampir seluruh nusantara, termasuk di Tanah Papua, belum memberikan kontribusi nyata bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat adat sebagai pemilik hak adat atas hutan. Implikasi lain dari system pengusahaan/pengelolaan hutan oleh HPH/IUPHHK adalah belum menempatkan masyarakat selaku pemilik ulayat di dalam dan di sekitar hutan sebagai bagian dari pelaku usaha sehingga sering menimbulkan gesekan-gesekan di tengah masyarakat dan perusahaan yang berujung pada tuntutan-tuntutan atau klaim-klaim hak atas tanah adat yang mengakibatkan ketidaknyamanan dalam berusaha (berinvestasi).

 Walaupun memiliki hutan yang luas, akses masyarakat adat Papua terhadap hutannya masih sangat rendah. Hal ini merupakan sesuatu Paradox dimana lebih dari 80% masyarakat adat Papua masih hidup di kampung-kampung dengan sumber daya alam hutan yang masih banyak tetapi ironisnya sekitar 70% berada dalam kondisi miskin.

Regulasi dibidang kehutanan belum memberikan ruang yang maksimal bagi masyarakat adat untuk turut serta sebagai subyek dalam pembangunan kehutanan di Papua. Masih terjadi tarik ulur kepentingan dalam kepengurusan hutan di Papua, walaupun aspek legalitas dalam pengurusan hutan di Papua telah dipersiapkan dalam bentuk Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua. Kenyataannya segala proses yang diamanatkan oleh UU No. 31 tahun 2001 tentang OTSUS bagi Provinsi Papua, agar kewenangan pengurusan hutan diatur dalam sebuah Perdasus telah dilalui, namun hingga saat ini Perdasus tersebut belum kunjung diberlakukan.

 Akan tetapi, pada saat Otonomi Khusus diberlakukan, ada keberpihakan yang muncul dalam kebijakan pemerintah daerah, khususnya di bidang kehutanan, dimana telah dikeluarakannya Izin Pemungutan Kayu Masyarakat Adat (IPKMA)  bagi masyakat adat yang mencoba berusaha dibindang pengusahaan hutan  tetapi dengan tetap bertumpu pada sumber daya alam milik mereka sendiri. Keberpihakan pemerintah daerah dalam bentuk seperti ini merupakan suatu langka maju dalam konteks OTSUS, akan tetapi belum ada unsur-unsur perlindungan dalam usaha yang sedang dilakukan oleh masyarakat adat  dan pemberbedayaan terhadap masyarakat adat pemilik hak adat atas tanah masih belum maksimal dilakukan , hutan dan sumber daya alam lainnya di dalam teritori adatnya.

 Pengalaman pengelolaan hutan sejak Orde Baru hingga sekarang, telah memberikan dampak yang signifikan terhadap kerusakan dan kehilangan hutan di Indonesia. Paradigma pengusahaan hutan di masa lalu kini telah beralih menjadi  Pengelolaan hutan. Belajar dari pengalaman tersebut, dalam pengelolaan hutan ke depan di Tanah Papua, telah dirancang suatu system pengelolaan hutan berkelanjutan dengan system Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Dengan pendekatan pengelolaan hutan yang intensif ke depan bukan tidak mungkin akan terjadi gesekan-gesekan ditingkat masyarakat dengan perusahaan, masyarakat dengan pemerintah, maupun antara masyarakat dengan masyarakat. Pengalaman telah membuktikan bahwa masalah re-claiming atas tanah adat sangat mendominasi permsalahan-permasalahan dalam dunia usaha kehutanan, perkebunan besar dan sangat umum di Tanah Papua.

Masalah hak-hak kepemilikan, penguasaan dan pemanfaatan atas tanah menjadi sangat penting di Papua. Berbicara tentang Tanah di Papua sama dengan berbicara tentang harga diri orang Papua. Filosofi orang Papua tentang tanah, dimana tanah dipandang sebagai Ibu yang senantiasa memberikan kehidupan bagi anak-anaknya. Karena dari tanahlah kami memperoleh penghidupan. Oleh sebab itu, penguasaan dan kepemilikan atas tanah di Papua senantiasa bersifat komunal.

 Seiring dengan berkembangnya industrialisasi dan masuknya berbagai investasi ke Papua, maka telah mendorong peningkatan pembangunan yang disatu sisi menimbulkan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi daerah tetapi di sisi lain berdampak pada peningkatan kebutuhan ruang dan sumber daya tanah. Kondisi ini telah memberikan peluang bagi akses modal dan politik dengan segala implikasinya seperti alih fungsi tanah pertanian dan hutan, tergusurnya hak adat atas tanah dari masyarakat adat dan terjadi spekulasi penguasaan tanah oleh para pengembang perumahan dan pengusaha kawasan industry. Di beberapa kabupaten di Tanah Papua, dimana investasi perkebunan besar menjadi andalan, maka konflik pertanahan menjadi dominan dan bila tidak difasilitasi, mediasi, dalam penyelesaiannya maka akan sangat merugikan bagi berbagai pihak yang terlibat.

 Kasus pertanahan pada perkebunan besar sering terjadi, pada masyarakat Keerom, Taja-Lereh, Prafi, dan tempat-tempat lainnya. Saat ini akan terjadi inventasi perkebunan dan HTI besar-besaran di daerah Selatan Papua, terutama di wilayah adat Malind Anim Ha di Merauke, harus menjadi perhatian serius dalam proses-proses mediasi, agar ada asas keadilan, keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan bagi orang Papua.

 Dalam dunia usaha di bidang kehutanan, banyak masalah yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan HPH di Papua karena klaim ganti rugi atas tanah adat yang digunakan untuk base camp, membayar kompensasi atas wilayah adat sejak perusahaan beroperasi  dan banyak lagi kasus yang menyangkut masalah pertanahan. Sebut saja PT. Risanah Indah Forest Industries yang beropeasi di Kabupaten Jayapura, dimana masyarakat pemilik tanah adat menuntut hak adat atas tanah (ulayat) dari masing-masing suku, dan pada beberapa tempat terjadi perjanjian sewa tanah selama 50 tahun dengan suku Tiert atas penggunaan tanah di bukit SOM dan Bukit KOPA di Demta; PT. Mamberamo Alas Mandiri, dimana ada complain masyarakat atas tanah lokasi industry yang menuntut agar perusahaan membayar ganti rugi sebesar Rp 25 milyar dan belum ada penyelesaiannya; dan masih banyak lagi kasus-kasus re-claiming atas tanah adat yang dimanfaatkan oleh pihak investor kehutanan.

 Fenomena pertanahan seperti ini telah menimbulkan sebuah pertanyaan besar apakah aspek-aspek kebijakan pertanahan yang selama ini berlaku masih relefan dan telah mengakomodir system dan paradigma yang selama ini hidup, dipahami dan diterapkan dalam system adat istiadat orang Papua yang bersifat komunal? Dengan status OTSUS sekarang apakah system, norma dan nilai dari tanah adat telah terakomodir dalam kebijakan-kebijakan di bawah payung OTSUS ?

 Saudara-saudara sekalian,

Dari gambaran singkat tentang kondisi pengelolaan hutan dan pertanahan yang ada dan terjadi di Tanah Papua, yang kami kemukakan tadi, sangat diperlukan adanya upaya-upaya strategis dalam penyelesaian  berbagai permasalahan yang berhubungan dengan Pengelolaan hutan dan pertanahan di Papua. Upaya-upaya strategis tersebut yang diharapkan dapat dilakukan oleh semua pihak diantaranya :

  • Menguatkan dan memberdayakan Masyarakat Adat Pemilik Hak  Ulayat dalam pengelolaan dan pengamanan hutan
  • Meningkatkan kapasitas kelembagaan Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Hutan
  • Mensinkronisasikan kebijakan di tingkat pusat/provinsi/kabupaten/kota sebagai payung hukum dalam pengurusan hutan di Tanah Papua
  • Mempercepat system pengelolaan hutan berkelanjutan melalui mekanisme KPH.
  • Mendorong aneka usaha kehutanan bagi masyarakat adat di wilayah-wilayah yang potensial dengan meningkatkan ketrampilan dan keahlian dari masyarakat adat
  • Menguatkan hak-hak kepemilikan tanah adat melalui mekanisme-mekanisme legal.
  • Mendorong upaya-upaya pemetaan partisipatif atas tanah-tanah adat di Papua
  • Mengembangkan usaha-usaha dibidang Jasa Lingkungan

Saudara-saudara yang kami muliakan,

Melalui lokakarya yang dilaksanakan selama dua hari ini kami harapkan dapat memperoleh kesepahaman dan kesepakatan-kesepakatan dalam pengelolaan hutan berkelanjutan di tanah Papua yang mencakup aspek kelembagaan, sosial, lingkungan dan ekonomi termasuk adanya ruang-ruang kelola bagi masyarakat Adat untuk mengusahakan dan menikmati hasil hutan secara berkelanjutan dengan tetap memperhatikan kelestarian hutan. Selain itu, tetap mendorong pemikiran-pemikiran yang kongkrit menyangkut regulasi/kebijakan dan aturan dibidang kehutanan dan pertanahan.

Pada kesempatan ini pula kami menyampaikan terima kasih atas kerjasama yang dilakukan oleh Forum Kerjasama LSM Papua, The samdhana Institute, dan Greenpeace Asia Tenggara, yang telah memprakarsai terlaksananya lokakarya ini. Kami berharap kepada peserta agar bersungguh-sungguh mengikuti lokakarya ini dan pada akhir dari kegiatan, ada sesuatu yang dapat dihasilkan dan kemudian kita rumuskan  bersama-sama agar upaya-upaya pengelolaan hutan berkelanjutan dan berkeadilan serta kesepakatan-kesepakatannya, menjadi dasar dalam memperkuat hak-hak tenurial, menyangkut hak kepemilikan/pengusaan, dapat bermanfaat di tanah di Papua di masa depan. Semua hal yang dibicarakan dalam lokakarya selama dua hari juga harus bernafaskan OTSUS dengan memperhatikan tiga hal pokok, yakni harus ada unsur KEBERPIHAKAN, PERLINDUNGAN, dan PEMBERDAYAAN orang Papua.

Saudara-saudara sekalian,

Demikianlah sambutan yang dapat kami sampaikan pada kesempatan ini, selamat mengikuti lokakarya semoga bermanfaat bagi pembangunan kehutanan dan agraria di Tanah Papua.

Akhirnya dengan memanjatkan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Lokakarya Hak-hak Penguasaan Atas Tanah dan Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan di Tanah Papua dalam Konteks Otonomi Khusus, saya nyatakan dibuka dengan resmi.

Sekian dan terima kasih, TUHAN MEMBERKATI KITA !

KETUA MAJELIS RAKYAT PAPUA

KETUA

Drs. AGUS ALUE ALUA, S.Th, M.Th

Dengan ini, acara “LOKAKARYA HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH DAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DI TANAH PAPUA DALAM ERA OTONOMI KHUSUS” saya buka dengan resmi. Terimakasih. untuk Ketua Majelis Rakyat Papua Drs. Agus Alue Alua, S.Th, M.Th.

MC ( Farida T. Kelasin)

Demikian pembukaan acara ini. Peserta lokakarya yang saya hormati, dari dua sambutan tadi, ada beberapa hal yang menjadi perhatian kami pertama, hak tanah masyarakat adat semakin berkurang. Sebenarnya ada kebijakan yang sistematis untuk menggusur masyarakat adat dengan alasan pembangunan. Kedua, ada proses dimana orang papua termarginalkan. Tadi disampaikan oleh ketua panitia bahwa perkembangan orang Papua semakin lama semakin berkurang. Kita lihat, apakah tahun 2030 orang Papua akan seperti yang digambarkan oleh ketua panitia tadi. Untuk itu saya minta kepada peserta agar tetap bertahan selama 2 hari ini untuk sama-sama berpikir apakah tahun 2030 nanti orang Papua akan seperti yang diprediksikan.

Kita akan memasuki acara Lokakarya, tapi sebelum itu kita akan break 10 menit kepada panitia untuk menyiapkan perubahan tempat duduk dan setelah itu acara kita lanjutkan kembali. Terima kasih untuk kita semua.

REHAT:  10 menit

Panitia

Mohon bisa dipercepat supaya acara kita lanjutkan. Untuk sesi pertama dari jam 11 sampai jam 12. Materi pertama adalah kebijakan Hutan dan Konservasi yang akan disampaikan oleh kepala Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua. Kepada moderator saudara Toni Wakum kami persilahkan, untuk pemateri kami persilahkan pak Marthen Kayoi selaku Kepala Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua dan ibu Laksmi serta Pak Lyndon.

 

 

Materi Sesi I

Moderator

Baik ibu dan bapak sekalian, silahkan mengambil tempat duduknya masing-masing. Saat ini sudah ada pak Marthen Kayoi dan Ibu Laksmi serta Pak Lyndon dan kesempatan pertama akan diberikan kepada Bapak Marthen Kayoi. Sebagaimana materi dalam TOR, kita semua punya pergumulan sehingga kita coba satukan fokus kita sehingga kita tidak sia-sia mengikuti materi ini. Dengan ini kita coba pikirkan untuk mencari solusinya. Kita punya waktu sampai 12.30. saya selaku moderator Toni Wakum. Ini persolaan bagi kita semua, saya kebetulan baru berbincang dengan Pak Marthen bahwa kita harus, mampu mencari penanganan yang lebih baik. Untuk dua hari ini kita harus mampu menyelesaikan persoalan ini. Tanpa membuang-buang waktu, kepada Pak Marten waktu saya berikan waktu untuk mempresentasikan materi selama 15 menit. Untuk itu, waktu saya persilahkan.

Kepala Dinas Kehutanan ( Marthen Kayoi)

Materi : KPH Mendukung Kebijakan Baru Pengelolaan Hutan Di Provinsi Papua

Pokok-pokok diskusi kita, mengapa kebijakan hutan menjadi sangat penting. Kondisi hari ini, sedikit banyak Ketua Panitia dan Ibu Wakil Ketua MRP sudah jelaskan hal-hal pokok. Posisi kita hari ini seperti ini, saya tambahkan bahwa jumlah luas kawasan hutan kita 31.079.185 Ha. Kemudian pemanfaatan tentang KPH, gubernur sudah sampaikan untuk pemanfaatan untuk rakyat harus kita galakkan. Potensi hutan hari ini, total luas hutan Papua sebesar 41 juta hektar yang datanya dari dulu sampai sekarang tetap sama, Ini betul atau tidak ?, harus kita pecahkan hari ini soal pengelolaan yang tidak jelas karena yang kita lakukan baru sebatas pengelolaan dan baru memulai tahapan-tahapan pengusahaan, karena Papua masih hanya sebagai  sumber log. Juga masyarakat belum dilibatkan atau belum sebagai pelaku pengelolaan. Cara berfikir masyarakat kita hari ini hanya berfikir sekarang namun tidak berfikir besok, yang mau marah silahkan tapi ini fakta. Faktanya bahwa masyarakat adat yang miskin dalam kawasan hutan sebesar 69,69%. Belum ada data yang pasti sehingga kita karena miskin apa ? kemudian tumpang tindih, konflik pemanfaatan hutan dengan hak ulayat.

Ini kebijakan lama dan  kebijakan baru, Saya bicara ini terus tapi memang seperti begini sudah. Kebijakan lama diantaranya Hutan dikuasai negara dan diatur pemerintah melalui kebijakan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), mengakibatkan (1) Konglomerasi dalam pemanfaatan hutan. (2) Eksport Logs, (3) Industri perkayuan terpadu skala besar dan padat modal, (4) Papua hanya sebagai penyedia  bahan baku dan bukan penerima manfaat. (5) Masyarakat didalam dan sekitar hutan  termarginalkan, (6) Pendapatan dan penerimaan sektor kehutanan dikuasai oleh pemerintah, (7) Masyarakat tidak terlibat sebagai pelaku utama dalam pemanfaatan hutan. Kebijakan baru diantaranya : Hak kepemilikan hutan dikembali-kan ke rakyat dan diatur oleh Pemerintah Daerah melalui Undang-undang Otonomi Khusus dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) sebagai peraturan pelaksanaanya : (1) HPH dicabut kecuali  HPH yang mempunyai industri perkayuan dan pengembangan Community Logging, (2) Penghentian pemasaran kayu logs keluar wilayah Papua (Logs Export  Banned), (3) Pengembangan industri perkayuan  rakyat dan optimalisasi 4 industri perkayuan terpadu, (4) Pembangunan dan pengembangan hutan tanaman (HTI dan Hutan Rakyat), (5) Pengembangan kawasan konservasi menunjang jasa lingkungan  (Ecotourism , REDD dan CDM dalam kaitan Carbon Emition Trade), (6) Penguatan kapasitas kelembagaan rakyat dan aparatur (efisiensi dan akuntanbilitas), (7) Pengembangan hasil hutan bukan kayu, (8) Pembentukan Badan Pengelola Sumber Daya Alam Papua. Tadi Ibu Wakil Ketua MRP bilang perdasus sudah ada tapi pemberlakuannya belum ada sama sekali. Karena mekanisme hukumnya yang belum selesai. Soal hutan rakyat ini, saya sampaikan tolong kepada kepala Dinas Kehutanan Kabupaten agar masyarakat yang mau tanam ditanah di wilayahnya agar memberitahukannya saya ini bukan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan tapi kepala Dinas Kehutanan dan Konservasi. Ketika kita turun ke masyarakat untuk membicarakan ini, kita akan bicara kemana ?  ke masyarakat adatnya atau ke lembaga adatnya. Siapa yang harus melegitimasi itu ? ini nanti tinggal di baca. Coba kamu hitung di UNIPA, berapa anak Papua yang masuk di jurusan penataan hutan, kita cuma bisa bicara tapi kita tidak dorong kita punya anak-anak untuk masuk kesitu.

Tentang penataan manajemen kawasan hutan, kita coba merubah image agar lebih pada pengelolaan hutan. Didalam pengelolaan itu, saya identifikasi ada 8, pertama identifikasi dan pemetaan kampng-kampung didalam kawasan hutan (jumlah penduduk, tingkat kemiskinan, dll) berapa kampung?, kedua tentang Pemetaan partisipatif hak ulayat Masyarakat Adat/Kampung, Ketiga, Rekalkulasi kawasan dan potensi hutan (pemekaran, perkebunan, peternakan, pertanian, pertambangan, pemukiman). saya pikir Pak Kapisa (Ketua KPH Papua), bias kita coba desak, karena Ini kegiatan dalam penataan kawasan. Keempat, Review kawasan hutan (Adanya pemekaran wilayah), kelima tentang Pemetaan Potensi Sumber Daya Mineral dan Hutan (Overlay Peta), keenam tentang Optimalisasi pemanfaatan lahan kritis (Peternakan, Perkebunan Energi), ketujuh Pengendalian dan pengawasan Reklamasi daerah bekas tambang, delapan Redesain areal dan verifikasi HPH. Berikutnya penataan manajemen hutan, Reorientasi Pengusahaan menjadi Pengelolaan Hutan dengan pendekatan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), kegiatan    prioritas : a) Pengembangan Industri Kayu Rakyat, b) Pengembangan Hutan Rakyat dan Hutan Tanaman Industri, (c) Optimalisasi industri perkayuan terpadu yang telah ada (3 unit industri), (d) Pengembangan hasil hutan non kayu (Rotan, Kulit Masohi, Kulit Lawang, Gaharu, Getah Damar), e) Pengembangan  Ecoturisme dan jasa lingkungan (Clean Development Mechanisme, Carbon Trade), (f) Penilaian kinerja HPH melalui Tim Verifikasi, (g) Penataan manajemen HPH, (h) Penghentian pemasaran LOG ke luar Papua dan meningkatan pemasaran kayu olahan. Ketika datang di Canberra, saya lihat orang PNG, karena sama dengan orang papua jadi saya agak senang. Disamping itu masalah yang mereka hadapi hampir sama dengan masalah kita sehingga kita coba sharring dengan mereka.

Berikut adalah penataan legislasi dan kewenangan. Pertama adalah Harmonisasi regulasi kehutanan dalam Implementasi UU No 21 Thn 2001,  Khususnya Pengelolaan Sumber Daya Alam (hutan), kedua yakni Penetapan Perdasus Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat/Kampung di Papua diantaranya :

1)      Pengaturan Pengakuan hak masyarakat adat/Kampung terhadap hutan;

2)      Pengaturan kewenangan pengelolaan hutan dan Perijinan pemanfaatan hutan;

3)       Pengaturan pengendalian dan pengawasan Pengelolaan Hutan (Kewenangan Penanganan ileggal logging diberikan ke Daerah,   peran, tanggung jawab, tanggung gugat),

4)      Mekanisme penyelesaian sengketa dan pengaduan;

5)      Sistem audit dan pelaporan,

6)      Pengaturan Sanksi di bidang kehutanan,  

7)      Jaminan investasi di Daerah (kepastian hukum dan kepastian usaha).

Berikutnya penataan kelembagaan hutan. Pertama, Peningkatan kapasitas kelembagaan Masyarakat Adat/Kampung dan pengembangan SDM dalam Pengelolaan Hutan (Badan Usaha Masyarakat Adat), Membangun perencanaan bersama Masyarakat Kampung, Membangun kesepahaman tentang Industri Rakyat, Peningkatan kapasitas aparatur  (Provinsi dan Kabupaten/Kota), Pengembangan Procurement System dalam sektor kehutanan (Pusat dan Daerah), Optimalisasi BUMD (Pembentukan Badan Pengelola Sumber Daya Alam Papua; Dewan Kehutanan Papua). Ini sedang dikembangkan namun sistemnya harus kita sepakati dulu. Ada usul gubernur untuk dibentuk irding company.

Berikut adalah badan usaha masyarakat adat. Badan Usaha Milik Masyarakat dapat melakukan kegiatan usaha pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan berupa : a) Usaha Pemanfaatan Kawasan, b. Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan, c. Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu, d. Pemungutan Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu. (Pasal 36). Beriktunya, Ijin dapat dilaksanakan oleh badan usaha masyarakat adat atau bekerja sama dengan badan usaha swasta lainnya.

Selanjutnya, yang perlu dipersiapkan masyarakat adat adalah Pembentukan kelembagaan badan usaha masyarakat adat, juga Penyiapan sumber daya manusia, berikut, Lokasi kegiatan pemanfaatan hasil hutan, dan terakhir Pelatihan Ketrampilan Pengolahan Hasil Hutan. Pemasaran Produksi Pengolahan Hasil Hutan. Banyak masyarakat bilang setuju tapi ada juga yang tidak setuju. info terakhir, komoditi Papua sedang dibangun satu system di bursa saham. Masalahnya, produksinya siapa ?. saya akan bikin seperti ini yakni proses produksi dan mekanisme pemasaran kayu rakyat, jadi ketika kita bicara soal ini, hanya dua hal besar yang harus menjadi perhatian yakni produksi dan pasar.

Kita sudah memetakan Papua menjadi 7 zona,  ketika kita membangun industri kita harus hitung berapa kemampuan suplai kita dan harus bisa menghitung berapa tahun kita akan menggunakan hasil hutan itu. Papua sudah membentuk KPH sesuai dengan SK. Gubernur No. 188.4/656 Tgl. 23-02-2009, dan ada 56 unit KPH di Papua.

Mengapa KPH penting, Ini adalah suatu upaya untuk mengelola hutan secara berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ini bertujuan untuk : 1) Intensifikasi, Optimalisasi Pengelolaan Hutan, 2) Transparansi (Perorangan, Koperasi dan Badan Usaha), 3) Mendorong distribusi manfaat (Adil, Merata), 4) Pendelegasian Tanggung Jawab, Kewenangan (SDM Profesional, Pelayanan Publik, Reformasi Birokrasi), Kepastian Perlindungan Pemanataan Pemanfaatan Hutan/ruang.

Ketika kita bicara hutan maka pengelolaan ada disitu. Dengan KPH ini kepala-kepala  dinas tinggal dikontrol oleh ini. KPH ini adalah untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dalam pengelolaan hutan.

Berikutnya, gambaran spasial wilayah kelola KPH (slide). Ini potensi sumber daya hutan papua (slide). Berikutnya, potensi konflik ada disini. Menurut pemerintah merah muda adalah kawasan konversi untuk perkebunan. Menurut Masyarakat kawasan tersebut merupakan hutan sekunder yang dikelola untuk sagu, lahan berpindah, berburu.  Akan menimbulkan konflik jika kawasan tersebut diserahkan pemerintah untuk perkebunan skala besar.

Akhir dari sini, harapan saya, KPH bisa melakukan proteksi tentang pengelolaan dan  pemanfaatan ruang (merata, profesional), kedua KPH mampu Pemanfaatan Hutan Berkelanjutan dan bermanfaat ekonomi bagi masyarakat. kalau ini kita lakukan dengan baik maka akan disesuaikan dengan kemampuan dan spesifikasi kita sendiri. Berikutnya Roadmap KPH Papua yang kami sudah kerjakan sejak tahun 2005:

 

Pak Marthen: siapa representasi Masyarakat Adat yang sah ?

MRP – melakukan identifikasi siapa MA di Papua, dibuatkan administrasi pendaftarannya – Perlu Perdasus Asminduk? Data dasarnya sudah ada untuk mulai: Peta Bahasa-Bahasa Suku (SIL)

Saya pikir ini yang bisa saya sampaikan, terimakasih.

 

Moderator

Ini menjadi PR kita, kita dengar bahwa dinas kehutanan bahwa bapak sudah jelaskan tadi dan selanjutnya saya persilahkan kepada pemateri berikut.

Laksmi Adriani Savitri

Materi : Kebijakan dan Praktek Otonomi Khusus atas  Wilayah Adat di Papua)

Indonesia menjadi wilayah yang semakin seksi dimata dunia karena hasil hutannya. Negara berkembang saat ini berusaha dijadikan target oleh negara-negara maju. Masalah actual saat ini adalah perdagangan karbon,  kalau kita membayangkan bahwa negara-negara maju sedang berusaha terus untuk mencari tanah-tanah pertanian diluar wilayahnya untuk mencari tambahan energi bagi mereka, seperti Jepang misalnya, dengan wilayah pertanian yang kecil, praktis mereka membutuhkan tambahan dari negara-negara berkembang untuk areal pertanian, perkebunan dan kehutanan. Peta rencana investasi di Kabupaten Merauke misalnya bertujuan menjadikan Merauke sebagai supplier hasil hutan dan tata ruang hutan yang diatur dan sejujurnya tidak ada manfaatnya sama sekali untuk masyarakat Merauke sendiri. Ada beberapa UU yang mengatur diantaranya INPRES No. 5/2008 tentang FOKUS PROGRAM EKONOMI TAHUN 2008 – 2009 dan UU 26/2007,

UU 25/2004, UU 17/2007. Ada konflik agrarian yang mencakup dua hal yakni batas, juga konflik hukum. Mana yang disebut hak kepemlikan masyarakat adat. Semuanya saling menyalahkan.

Ini adalah gambar rencana investasi di kabupaten merauke. Tapi apakah ini realistis ? kalau bapak ibu perhatikan, yang menjadi alasan tempat yang mau dijadikan wilayah investasi adalah hutan produksi. Pertanyaannya, mengapa areal hutan yang dijadikan sasaran investasi. Kenyatannya, kalau kita lihat sebaran kelompok bahasa di Papua. Ada ribuan titik kampung di Papua. Dan sulit untuk menghitungnya. Kenyataan lainnya, kampung yang sedemikian banyak, ada system politik tradisional. Pertanyaannya, siapa yang akan berhubungan untuk memutuskan kebijakan untuk kawasan tanah wilayah itu. Siapa yang berhak memberikan ijin untuk pengelolaan hutan. Saya coba melihat pada system kepemimpinan adat & land tenure. System kepemimpinan diantaranya : Big Man untuk suku Ekagi mengatur achieved status yakni kekayaan, keberanian dan kekuasaan tunggal. Di raja ampat masihmenggunakan kerajaan dan pengaturannya berdasarkan keturunan dan mencakup satu suku (beberapa marga patrilineal). Ondoafi untuk Sentani yang diatur berdasarkan keturunan mencakup satu keret atau beberapa marga (jumlah lebih kecil dari kerajaan). Lalu Biak Numfor dengan sistem Campurannya antara  tentang Big Man dan Ondoafi  dan masalah perang suku.  

 

                        Realitas I : Sebaran Kelompok Bahasa di Papua                                                        Realitas II :   Sistim Politik Di Papua

 

Secara umum, ada  beberapa peneliti dari luar dan kebetulan kita belum sempat meng-update-nya, namun menurut mereka bahwa hak adat atas tanah adat terbagi menjadi dua bagian yakni secara komunal dan secara individual Lapisan-lapisan hak adat atas tanah di Papua (van Vollenhoven 1909; Ter Haar 1948) :  Hak komunal àbeschikkingtrecht (right of disposal): 1) Komunitas bisa menggunakan tanah yang belum dibudidayakan, 2) Orang luar bisa menggunakan sepanjang mendapat ijin dari komunitas, 3) Penggunaan tanah oleh orang luar berimplikasi pada adanya kompensasi, 4) Komunitas memiliki kontrol atas tanah yang sudah dibudidayakan, 5) Komunitas bertanggungjawab atas apapun yang terjadi di dalam teritorinya, 6) Komunitas tidak dapat secara permanen melepaskan propertinya. Kedua adalah hak individual àeigendom : 1) Hak untuk memiliki (right of possesion), kedua Hak untuk menggunakan sampai satu musim tanam, 3) Hak untuk menggunakan kembali tanah yang sudah pernah digarap (right of preference), 4) Hak untuk menjual, 5) Hak untuk menggunakan sebagai ahli waris.

Pertanyaannya bagaimana OTSUS dan Perdasus menjawab harapannya dan seperti apa ? hak atas tanah adat dalam OTSUS & Perdasus yakni pertama, RPJP Provinsi Papua 2005-2025 (draft): Menempatkan hak ulayat masyarakat adat dalam kebijakan penataan ruang sebagai salah satu upaya untuk mempertahankan nilai-nilai sosial budaya atas lingkungan hidup masyarakat, untuk menghindari konflik kepentingan (conflict of interest) maka pemetaan tanah ulayat harus diselesaikan dan mendapatkan kesepakatan masyarakat adat serta memiliki kekuatan hukum. Kedua, UU OTSUS No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua pada Bab XI tentang Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat diturunkan dalam 3 Raperdasus MHA & SDA, HAT, PHB: Pertama, Pengakuan atas keberadaan masyarakat hukum adat mengsyaratkan tiga kriteria utama yang harus dipenuhi yakni keberadaan wilayah adat yang jelas dan batas-batasnya diakui, ada norma hukum dan kelembagaan adat yang mengatur kewenangan dan kewajiban dalam wilayah tersebut, justifikasi hubungan religi dan historis atas tanah dan sumber daya alam yang dikuasai dalam wilayahnya. Kedua, di validasi oleh sebuah penelitian, diakui secara hukum oleh Perda dan atau Keputusan Bupati/Walikota atau Gubernur, ketiga Pengakuan tersebut akan mendatangkan berbagai macam hak: pengambilan keputusan atas pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan wilayahnya, termasuk bernegosiasi dengan pihak ke- 3 (tiga), dan keempat, melepaskan haknya kepada Negara untuk diberikan kepada pihak lain atau meminjamkan hak tersebut dalam jangka waktu tertentu untuk asumsi Negara Budiman dan harus ada kelembagaan untuk menegakkan mekanisme kontrol oleh Masyarakat Adat. kelima, Kecuali kawasan hutan: izin pemanfaatan hutan ada di tangan Gubernur. Masyarakat Adat berhak memanfaatkan kawasan hutan hanya bila sesuai dengan fungsi yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah. keenam, Pemerintah dapat bertindak sebagai mediator atau memfasilitasi proses mediasi dari sengketa atas tanah dan pengelolaan hutan yang tidak disalurkan melalui jalur pengadilan.

Selanjutnya ada pengecualian juga bahwa ijin itu ada di Gubernur dan Masyarakat adat silahkan mengelola hutan atas pengawasan pemerintah daerah. Selanjutnya peta persoalan struktural yakni kesenjangan hukum dan keadilan sosial ekonomi. Ternyata kalau dilihat ditingkat UUPA No 5 Tahun 1960 yang mengakui adanya hak-hak masyarakat adat, sehingga peraturan ditingkat nasional yakni peraturan Menteri Agraria No 5 tahun 1999 bertujuan untuk mengatur lebih lanjut, tapi sebagai Peraturan Menteri ini sebenarnya tidak mengikat. Ketiga UU tersebut semuanya tidak masuk dalam perencanaan desa atau kampung. Justru menurut kami, perencanaan desa yang seharusnya masuk dalam pengelolaan ini. Lanjut, apa yang bisa kita lakukan ? secara nasional: Ada aturan setingkat UU dan PP (mengacu pada UUD 45 pasal 18b ayat 2) yang mengikat semua pihak tentang proses dan mekanisme prosedur pengakuan eksistensi masyarakat adat dan hak atas wilayah hidupnya. Ruang lingkup Provinsi Papua: Sinkronisasi berbagai Perdasus dalam proses penetapan pengakuan hak masyarakat adat atas wilayahnya, Sebagai alat perencanaan investasi, maka rencana tata ruang kabupaten dan rencana pembangunan harus memasukkan peta wilayah adat, memasukkan analisa atas keberagaman sistem politik tradisional yang mewarnai bentuk-bentuk hak dan kewenangan masyarakat adat, baik yang dimiliki secara kolektif ataupun perorangan karena berimplikasi pada proses pengambilan keputusan atas tanah adat.

Satu hal yang penting dalam pemetaan partisipatif itu, agar tanah adat itu masuk dalam perencanaan pengelolaan hutan yang akan dikelola oleh masyarakat sendiri. Harusnya diusahakan sertifikat yang bersifat komunal agar lebih mempermudah masyarakat adat mengelola sendiri hutan adatnya, dan yang terpenting lagi, adalah kemauan untuk melibatkan masyarakat adat agar memiliki kemampuan negosiasi terhadap perencanaan hutan di daerahnya sendiri.  Terimakasih.

Moderator

Apa yang disebutkan Ibu Laksmi memang di Merauke sistim tata ruangnya sangat berantakan. Saya bersyukur  pada kesempatan ini, kita bisa tahu posisi kita sebenarnya ada dimana. Saya pikir selanjutnya Pak Lyndon B. Pangkali akan menjelaskan tentang pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan KPHP Papua dan praktek-praktek pengelolaan hutan berkelanjutan di Papua. Waktu selanjutnya saya persilahkan kepada pemateri.

Lyndon B. Pangkali (KPH Papua)

Papua sangat luar biasa dalam keanekaragamannya. Di Papua dari sisi suku-sukunya ada sekitar 1000 lebih bahasa yakni 1/5 jumlah bahasa didunia. Kalau bicara tentang hutan Indonesia, orang bicara tentang Kalimantan, sumatera. Tapi sekarang, jika berbicara tentang hutan Indonesia ada di sini. Indonesia dikenal dengan keragaman hayati yang 50% nya ada di Papua. Ditingkat dunia, tanaman di Papua sangat banyak. Kekayaan tadi harus dikelola dengan berkelanjutan. Dalam system KPHP diarahkan berujung pada pengelolaan lestari. Ada kompleksitas masalah dalam pengelolaan hutan ini diantaranya : Kawasan hutan selalu berada pada situasi kompetisi pengakuan hak-hak, Pemanfaatan hutan melibatkan swasta pada hutan publik, Hak akses masyarakat terhadap Sumber Daya Hutan seringkali tidak terjamin, Potensi pembangunan ekonomi berada (paling mudah diletakkan) pada kawasan hutan (yang masih produktif, bahkan virgin). Pertumbuhan populasi membutuhkan ruang, sementara kebutuhan areal berhutan sebagai penyangga kehidupan juga  semakin tinggi, SDH dikelola dengan informasi spacial yang minim, sebagai akibat lokasi SDH yang tersebar dan rendah aksesibilitasnya. Dulu orang mengelola hutan dengan informasi yang sangat minim. Kalau sekarang dengan begitu canggih lewat satelit kita bisa melihat semuanya sekaligus merencanakan pengelolaannya.

            Kesatuan pengelolaan hutan diantaranya KPH adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukkannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari (PP 6/2007), Seluruh kawasan hutan terbagi dalam KPH, yang menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional, pemerintah Provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota (PP 6/2007), KPH ditetapkan dalam satu atau lebih fungsí pokok hutan dan satu wilayah administrasi atau lintas wilayah administrasi pemerintahan (PP 3/2008). Pentingnya KPH sendiri dalam konteks arah kebijakan global yakni Pengendalian perubahan iklim, degradasi hutan dan deforestasi (REDD), pengembangan energi terbarukan, pengentasan kemiskinan terkait langsung dengan upaya pelestarian fungsi SDH, kepastian tata ruang, dan kehadiran pengelola di tingkat tapak. Berikutnya, Kebijakan kehutanan Propinsi dan Kab/Kota yakni Pengembangan ekonomi, mempertahankan fungsi hutan sebagai daya dukung lingkungan, pemberdayaan masyarakat adat di dalam maupun di sekitar hutan, dan peningkatan kemampuan ekonomi masyarakat akan dipermudah operasionalisasinya dengan kehadiran pengelola di tingkat tapak. Kemudian ini ada gambaran wilayah KPH. Di Papua tadi Pak Kayoi (Kepala Dinas kehutanan dan Konservasi Papua), sudah sampaikan ada 56 unit KPH dan itu di Papua saja. Kalau kita lihat, jika hutan produksi yang dominan maka disebut KPHP, kemudian spasial wilayah kelola KPH. Didalam ruang KPH itu sebenarnya dipersiapkan untuk investasi. Karena untuk tujuan investasi, maka, seandainya ada masyarakat yang mau mengelola, KPH akan memberitahukan, wilayah mana yang akan menjadi tempat kelolanya. Untuk pemerintah, lebih banyak bermain dalam wilayah perijinannya saja. Tugas pokok dan fungsi KPH : pertama, menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan reklamasi, perlindungan hutan dan konservasi alam. Kedua, menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang kehutanan untuk diimplementasikan. Ketiga, Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian. Keempat, Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya. Kelima, Membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.

            Keuntungan potensial KPH sendiri yakni (slide). Faktor-faktor yang menjadi penentu keberhasilan pembangunan KPH : Pendidikan/pelatihan bagi aktor utama dan sosialisasi untuk umum, Kejelasan pemisahan antara fungsi administrasi (authority) bagi Dinas Kehutanan dan manajemen bagi KPH, Mengendalikan ketercapaian tujuan dan target, ukuran luas KPH yang sesuai (manageble), Pengambilan keputusan terdesentralisasi (ditingkat KPH), penguatan peran profesional, kejelasan fungsi dan tanggungjawab, Tenaga kerja profesional bekerja dekat dengan hutan dan masyarakat, Keberlangsungan komunikasi, koordinasi, supervisi  internal dan external.

            Kemudian ada kondisi pemungkin (anable condition), yakni pihak-pihak pengambil keputusan benar-benar memahami pengertian KPH dan implikasi adanya KPH, Adanya dukungan sumberdaya manusia, sarana dan prasarana serta anggaran untuk menjalankan KPH, Penyelesaian masalah-masalah yang terkait: 1) Kepastian hak dan akses masyarakat terhadap SDH, 2) Ketersediaan informasi SDH dan kondisi sosial-budaya masyarakat sebagai dasar pengambilan keputusan, 3) Aksesibilitas wilayah terutama infrastruktur ekonomi, serta 4) Dukungan kebijakan Pemerintah, Pemerintah Propinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota, kelima Adanya “supervisi” pembangunan KPH

Moderator

Waktu kita tinggal 10 menit, saya coba tanya kepada panitia apakah waktu kita bisa ditambah 30 menit sampai jam 1 siang. Oke kita lanjutkan lagi.

Lyndon B. Pangkali

Proses pembangunan KPH di Papua diantaranya dimulai dengan pembentukan unit-unit KPH yakni rancang bangun, arahan, pembentukan, penetapan. Berikutnya, pembentukan institusi unit KPH dengan cara planning, organizing, actuating, controling. Terakhir, penyusunan rencana pengelolaan unit KPH yakni rencana jangka pendek, rencana jangka menengah, rencana jangka panjang.

Ini adalah gambar Spatial Planning Strategy Papua-Papua Barat (slide) ini adalah peta untuk papua 56 KPH dan papua barat ada 21 KPH dan disetiap KPH ada pembagian lagi. Ada beberapa peta-peta yang sudah dibuat oleh KPH diantaranya (slide), juga ada dokumen atau naskah sudah ditulis semua dan tinggal penyempurnaan-penyempurnaan semuanya. Ditingkat aktivitas, ada 2 untuk menjadi contoh yakni di papua barat adalah sorong kemudian di papua di pulau yapen sedang dalam proses. Disini, untuk mendorong proses ini kita butuh banyak pihak untuk saling membagi sumber daya diantaranya : Samdhana Institute- IUCN ( Documment FMU), CII (Workshop I), FORCI –MFP-DFID (Workshop II), Other stakeholders (NGOs + Goverment), FMU Team ( Experts, Technicians), Governors ( Papua, West Papua), KADISHUT PAPUA DAN KADISHUTBUN PAPUA BARAT, GIS TECHNICIANS BPKH (WIL. X ; XVII ). Disini, rancangan kelembagaan KPH dimana kita sudah punya kewenangan untuk mengelola hutan sendiri (slide) kemudian, struktur. Disini kita bisa berdebat soal struktur bagaimana bentuk yang terbaik. Tapi kita coba susun seperti ini. Saya pikir sebenarnya masih banyak tapi nanti kita akan bicara dalam diskusi nanti.

Marthen Kayoi

Potensi sudah kita punya dan kita sudah buat kriteria2 tentang siapa yang akan pegang KPH. Pak Abdon Nababan ini adalah ketua masyarakat adat seluruh Indonesia. Saya minta kalian semua bisa percayakan ke saya untuk bisa menunjuk orang yang berkualitas. Banyak bupati yang dipilih hanya asal pilih, Saya kasih tahu begini dan nanti kamu jabarkan sendiri.

 

 

Moderator

Waktu kita tinggal 30 menit, saya berharap tidak ada pertanyaan tapi kalau bisa masukan kepada ketiga narasumber kita ini, kalau bisa usul saja dan pertama untuk 5 orang dulu.

 

Benyamin yantewo

Tadi moderator bilang tidak boleh bertanya, tapi ini hal penting yang harus saya tanya. Gubernur bilang bahwa di Papua ini tidak ada lagi tanah Negara dan yang ada hanya tanah adat. Pernyataan itu apakah hanya lisan ataukah tertulis, jawab dulu baru saya akan lajut.

Marthen kayoi

Bahwa yang dimaksud gubernur dalam kongres kehutanan adalah hutan bukan tanah. Pak Abdon Nababan juga hadir saat itu, itu mungkin jawaban sementara dari saya.

Benyamin yantewo

Saya inginkan buka hanya pernyataan kosong tapi bagaimana lewat kebijakan untuk menyelamatkan hak-hak orang asli Papua. Gubenur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat , untuk itu gubernur harus memposisikan diri sebagai orang papua dan anak adat di papua.

Moderator

Berikut saya kasih ke ibu dulu

Terimakasih moderator, saya mulai dari pembicara terakhir, tentang kebijakan KPH yang sudah dijelaskan tapi bahwa suku-suku di papua dan bahasa di Papua harus menjadi catatan penting. Saya melihat bahwa ada tantangan dan hambatan bagi KPH karena ada pemekaran dimana-mana, kalau dilihat dari suku bangsa didaerah dimana KPH dibentuk, pemecahannya adalah dua hal yang penting tadi, apakah metode yang digunakan untuk mengukur pemetaan masyarakat adat sebagai pemegang hak atas tanah adat, yang saya lihat lebih pada ekonominya saja tapi tidak dijelaskan soal sosialnya. Untuk ibu, bahwa sekarang ada UU baru No 26 tahun 2007. kepastian hukum ini penting untuk dlihat agar otsus ini benar-benar memberikan perlindungan bagi hak-hak masyarakat adat

Jack kasimat (Sekjen DAP)

Pak Marthen dan Pak Lyndon sedikit lagi masa jabatannya akan habis. Dari pengalaman saya, ini hanya selalu terjadi pengulangan-pengulangan saja. Kalau kita lihat di bagian selatan hutan kita sudah habis. Sekarang stop tanam bibit, sekarang kita turun dilapangan dan bantu masyarakat adat untuk membangun kesadarannya agar bisa menjaga hutannya sendiri, karena kalau tidak tentara dan polisi akan kasih habis hutan yang ada.

 

Ibu Mientje Roembiak

Terima kasih atas waktu yang diberikan, siapa yang bisa melawan Pemerintah, Saya menyatakan apresiassi kepada 3 pemateri. Tadi saya lihat Pak Marthen tidak jelaskan bahwa tanah kita sudah dikapling habis. Tadi yang disampaikan ibu sangat luar biasa. Saya sebagai anak adat sebenarnya menangis karena tenyata saya sudah tidak punya tanah lagi. Terus banyak sekali UU yang mengatur itu, kok ada UU OTSUS tapi mengapa masih banyak sekali UU. Menurut saya, lebih baik kita tidak usah tebang-tebang kayu sudah. Bagaimana kalau kita usahakan usaha lain saja, karena bapak jelaskan sangat baik tapi besok Bapak pergi minta ijin lagi ke Jakarta. Terima kasih.

Peserta

Apakah zona industri akan connect dengan KPH ataukah RTRW connect dengan pemerintah atau tidak.

Saya pikir kita diruangan ini kita semua punya kelemahan. Kita anak-anak Papua punya kelamahan masing-masing. untuk Pak Marthen mungkin bisa menjelaskan apa yang disampaikan oleh peserta tadi. Silakan pak.

Pak Marthen Kayoi (Kadis Kehutanan dan Konservasi Papua)

Solusi kongkrit saya, siapa yang memulai kongres tersebut. Harus ada inisiasi untuk kembali ke rakyat. Bagi saya hari ini kita harus ada perdasus kehutanan, karena substansi kehutanan sudah selesai dan sekarang barang itu tinggal di biro hukum. Karena peraturan pelaksanaan itu semua sebenarnya ada dalam perdasus yang mengatur dari hal paling kecil sampai paling besar. Untuk ibu rumbiak, sampai hari ini aya masih percaya bahwa konsep KPH akan bisa menyelesaikan masalah hutan di Papua. Ini ada peta, saya bukan tidak mau jelaskan kepada bapak. Ini ada, dibeberapa tempat memang sudah di kapling. Oleh sebab itu, dari awal saya bilang kalau kita lihat, berapa sebenarnya hutan yang bisa kita pakai secara ekonomi  untuk masyarakat adat, karena yang baru kita lakukan adalah pemetaan suku-suku besar saja.

Dari dewan adat, saya mau ingin katakan bahwa tidak ada konsep sampai tahun 2000, konsep ini untuk memberi arah dan gerak kita. Saya pikir perlu dipertemukan antara konsep dan dan kenyataan. Kita tidak perlu perdebatkan. Kemarin baru kita mulai membangun konsep tahun 2005, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa fakta dilapangan hutan sudah mulai habis. Apa yang dikatakan oleh dewan adat tadi, itu betul, tapi ketika kita turun ke masyarakat, masyarakat bilang wah itu kita tidak setuju.  Saya pikir-pikir dan saya katakan kepada pak Gubernur, bagaimana kalau kita stop penebangan hutan dulu. Tapi kalau kita identifikasi yang lain juga, ini masalah bagi rakyat. Tadi saya bilang, semua boleh menanam tapi tolong harus ada pendamping dilapangan. Satu kata yang saya bilang, jangan kita paksa diri pukul tembok. Dalam PP No. 38 disebutkan bahwa Aceh dan Papua diserahkan sepenuhnya untuk mengelola dengan kewenangan izin sesuai dengan kebutuhan. Gambar spacial wilayah kelola ini bukan harga mati. Ini melalui sebuah analisis dan bukan hanya asal menempatkan. Orang yang ditempatkan diwilayahnya yang harus mampu menganalisis peta potensi untuk hutan itu mau dibuat apa. Kami dari kehutanan punya informasi yakni laboratorium terbaik karena semua alat-alat itu sudah ada 10 tahun yang lalu.

Moderator

Seorang kepala Dinas harus terus bergumul dengan kondisi hutan kita yang sudah semakin hancur. Silahkan ibu jawab berkaitan dengan investasi tadi.

Laksmi Adriani Savitri

Sebenarnya penembus tembok kita adalah UU No 21 Tahun 2001, pertanyaannya mengapa 3 Raperdasus itu tidak kunjung menjadi Perdasus. Saya usulkan kalau bisa dijadikan review dulu sebelum menjadi Perdasus. Di badan koordinasi penataan ruang nasional inilah, semua tata ruang ini dibuat. Kita perlu meletakkan ini sebagai peringatan. Ketuanya dipimpin langsung oleh Menko Ekuin. Jadi, kalau secara hukum posisi UU No 21 Tahun 2001 setara dengan UU lain namun tergantung bagaimana kita mampu menempatkannya secara politik agar lebih kuat.

Lyndon B. Pangkali

Dasar yang dipakai untuk satu kesatuan ekosistem itu harus berdasar pada aliran sungainya. Didalam system pengelolaan ini, sudah masuk didalamnya ada suku2 dan bangsa. Secara ekonomi sosialpun bisa dilakukan. Pengelolaan hutan kedepan bukan hanya hutan saja, tapi juga ada ruang-ruang lain didalam wilayah KPH, semuanya pengelolaan diatur bersadasarkan wilayah potensi. Dengan KPH, peta tata ruang kehutanan akan semakin jelas.

Marthen Kayoi

Ada satu hal, bahwa Perdasus Kehutanan bukan menjadi rancangan lagi tapi sudah jadi Perdasus tinggal dimasukkkan kedalam Lembaran Daerah. Dan untuk memasukkan kedalam Lembaran Daerah itu wilayah Biro Hukum. Terima kasih.

Moderator

Demikian untuk sesi pertama ini dengan kelebihan dan kelemahannya. Saya mohon maaf kepada bapak/ibu sekalian  dan saya kembalikan kepada panitia. Saya pikir sudah jam makan siang yakni setengah dua siang.

MC

Baik bapak ibu, kita baru selesai dengan materi pertama. Dan kita akan makan siang api sebelumnya ibu Anike T. Sabame akan memimpin kita dalam do’a

Do’a…………………………….

Break 1 jam (makan siang)

Baik bapak ibu, waktu kita sudah lewat satu jam, berikutnya kita akan tampilkan 3 pemateri. Mohon kesediaan bapak ibu untuk mengisi tempat duduk didepan yang masih kososng. Materi pertama FPIC ( Free And Prior Informed Consent), Bapak/Ibu perlu ketahui bahwa bapak bertiga ini sudah malang melintang di bidangnya. sehingga saya tidak perlu banyak komentar dan langsung saya kasih waktu untuk langsung menyampaikan materi namun terlebih dahulu bisa memperkenalkan diri masing-masing.  

 

Emil Kleden

Materi : FPIC ( Free And Prior Informed Consent)

Terima kasih pak moderator, selamat siang untuk bapak ibu sekalian. Nama saya Emil Kleden kalau ditanya kerja apa, sementara ini saya ada pekerjaan di Makassar sampai bulan Desember.

Orang sering tanya, saya orang apa ?  orang sering dikelompokkan dengan cirri fisik. Tapi konsep HAM tidak bicara tentang konsep fisik. Orang membicarakan pendekatan hak dalam pembangunan, pertama: kesetaraan dan non diskriminatif, kedua: partisipasi, ketiga: transparansi dan keempat : akuntabilitas.

Kalau tidak boleh pukul orang flores, maka kita tidak boleh pukul orang lain juga. Intinya kita bisa jadi orang karena ada orang lain. Kalau kita lakkan pndekatan hak, jika orang lain mau pakai kecuali saya ijinkan. Contoh paling jelas ketika anak mau nikah, harus meminta ijin kepada kedua orang tuanya.  Berikutnya : konsep : free, prior dan informes consent.

n  Per definisi: Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi (Informed) sebelum  (Prior) sebuah program atau proyek pembangunan dilaksanakan dalam wilayah mereka, dan berdasarkan informasi tersebut, mereka secara bebas tanpa tekanan (Free) menyatakan setuju (consent) atau menolak.

n  Dengan rumusan lain FPIC adalah hak komunitas masyarakat (adat) untuk memutuskan mau bilang “YA” atau “TIDAK” kepada program/proyek pembangunan yang akan dibangun di dalam wilayah mereka.

Ada empat unsurnya, dapat memutuskan dengan bebas karena diatur di Indonesia dan seluruh dunia. Kita akan menyetujui ketika kita mengenalnya dan Informasi harus mendahului sebelum memutuskan. Kalau informasi sudah jelas, maka setiap keputusan atau kesepakatan akan ada keadilan bagi masyarakat adat. Tidak ada milik banyak orang (komunal) tapi keputusannya dilakukan oleh satu orang saja. Jangan sampai satu orang memutuskan dan masyarakat kemudian menolaknya.

Akibat terhadap orang luar, mereka bisa masuk kalau mereka mengakui bahwa orang setempat punya hak didalamnya. Agen pembangunan alatnya itu, hijau atinya ada pepohonan. Kelemahan peta karena tidak menunjukkkan manusia didalamanya. Untuk itu maka peta social harus ada orangnya. Apa implikasi, yakni :

n  Perlu mengakui adanya perbedaan konsep hak dan kesetaraan hak untuk berada;

n  Perlu menghormati sistem pengambilan keputusan yang ada di masyarakat (adat);

n  Perlu kesediaan untuk membangun relasi berbasis pendekatan hak;

n  Perlu keterbukaan dan tanggungjawab dalam memberi dan menerima informasi terkait rencana pembangunan.

Ini semua harus terpenuhi karena kalau tidak terorganisasir maka tidak akan terjadi sinergi. Seringkali apa yang kita bicarakan dengan orang luar tapi mereka tidak mengerti. Untuk mereka mengerti,  jelaskan dengan bahasa yang mereka mengerti. Jangan kita jelaskan dengan bahasa kita, komunikasi ini yang harus dijaga dan jangan sampai ada kesalah pahaman. Terorganisasi dengan baik artinya :

n   Ada kerja sama dan bersepakat sebagai satu komunitas antara berbagai otoritas dan kelompok dalam kampung

n   Ada pembagian wewenang yang jelas di dalam kampung dalam berhadapan dengan pihak ketiga

n   Seluruh warga kampung tahu persoalan dan terlibat dalam proses

n   Ada sistem keterwakilan setiap kelompok dalam kampung berdasarkan kapasitas dan kesepakatan

Di zaman Soeharto, perlawanan rakyat sangat kuat, musuh bersama adalah Orde Baru. Kemudian, isu bersamanya juga ada dan jelas. Wujud ketidakadilan itu adalah Soeharto sehingga harus ditumbangkan, ini adalah gerakan moral yang bisa mengikat semua. Sekarang kalau saya tanya  musuh bersama orang Papua apa ? pasti jawabannya lain-lain, bahkan mungkin ada masyarakat adat dengan LSM bermusuhan. Satu lagi adalah soal kejelasan wacana, berikutnya, juga problem advokasi. Masyarakat adat punya lembaga adat, hukum adat, dan punya wilayah adat, tapi kalau kita lihat semua sama dengan masyarakat lainnya diluar papua. Apa yang sebenarnya membedakan mayarakat Papua dengan masyarakat lainnya. Ada satu suku, mengatakan bahwa tanah ini milik dia, namun setelah diperiksa bahwa didalam suku ini sudah terjadi kawin campur. Contoh di Kalimantan, sebenarya mana yang disebut asal usul, apakah yang sudah tinggal 20 tahun, 40 tahun atau 90 tahun. Harus kita jelaskan dulu hal ini karena ini masalah kita didalam kampung. Kenapa Negara tetap kuat dalam hal ini. Misalnya nagari, mereka minta kebijakan pusat, pasti dikasih. Pandangan kita terhadap pengakuan Undang-undang. yang kita minta bukan soal ini diakui, itu diakui bagaimana karena bukan judulnya yang diubah tapi pembangunannya yang harus dimulai dari kampung. Ini saya bisa katakan, Negara lebih berhasil daripada masyarakat karena Negara lebih berhasil membangun wacananya. Berikutnya, adalah advokasi. Advokasi adalah kesejahteraan dan bukan ideologi. Jadi bukan Pengelolaan duluan baru pengakuan belakangan.

Jadi buktikan,bahwa kita tidak hanya menuntut pengakuan tapi juga harus bisa mengelola.  Beriktunya, unit ekonomi harus bagus. Seperti koperasi yang lebih banyak punya sejarah buruk ketimbang baiknya. Keempat adalah kooptasi modal. Saya usulkan kalau bisa masyrakat adat melakukan kooptasi modal. Masyarakat adat harus mendapat royalty dalam hal pengembangan kesehatan traditional. Kita punya pengetauan mendalam tentang kampung kita, tapi kita tidak bisa menulis. Ketika penulis datang, yang ditulisnya adalah analisis dan bukan data. Mengapa masyarakat yang memberikan data tidak diberikan hak cipta. Pemerintah daerah harus memberikan pengakuan kepada masyarakat untuk hal ini. Ini ada beberapa contoh di Kanada dan Saami.

Soal perenanaan, orang selalu bicara hak berdasarkan masa lalu. Apakah bukti bisa diberikan dengan bicara masa depan. Jawabannya bisa, dengan cara perencanaan. Jadi, pembangunan bisa terjadi kalau ada perencanaan masa depan. Jangan hanya bicara masa lalu tapi juga bicara masa depan. Itu yang Negara lakukan dan kenapa kita tidak bisa lakukan.

Mempraktekkan konsep ini, tahap pertama:

n  Arena penerapan: hak kolektif

n  Pendekatannya: hak

n  Prinsipnya: partisipasi, transparansi, akuntabilitas, kesetaraan

n  Proses: demokratis

n  Tujuannya: mencegah/menyelesaikan konflik antar para pihak

n  Alatnya: negosiasi/perundingan

Soal perwakilan merupakan sesuatu yang krusial karena ternyata perwakilan itu tidak dianggap representative masyarakat.

Sistem perwakilan:

l   Lembaga yang dipilih sendiri oleh masyarakat adat

l   Lembaga yang dibentuk negara tetapi kemudian diterima oleh masyarakat adat

l   Lembaga baru yang dibentuk oleh masyarakat adat untuk berurusan dengan pihak luar

Sistem perwakilan harus berbentuk lembaga dan bukan perorangan, karena jika perorangan, maka tidak ada sistem kontrol terhadap perilaku dari perorangan:

Sistem perwakilan, tidak boleh hanya bersifat tunggal karena akan sulit terkontrol. System perwakilan itu hanya meneruskan hasil kesepakatan di kampung dan tidak membuat keputusan baru.

l   Perwakilan komunitas hanya MENERUSKAN keputusan dalam komunitas ke meja perundingan dengan pihak ketiga, bukan membuat keputusan sendiri

l   Perwakilan harus selalu menyampaikan kepada komunitas perkembangan tiap tahap perundingan

l   Perwakilan harus cermat dalam mengambil peran sesuai kapasitas

l   Perwakilan adalah TIM  dan bukan perorangan, sehingga lembaga yang mewakili komunitas selalu bekerja sebagai tim dan bukan perorangan.

Berikutnya, perundingan itu jikalau kita bicara ILO sebagai organisasi buruh yang lahir karena adanya penindasan dan perundingan terjadi sampai dengan 80 tahun baru lembaga ini terbentuk.

Kemudian berikutnya, FPIC (Free And Prior Informed Consent), sudah dipraktekkan dibeberapa tempat antara lain:

n   Flores Timur, NTT: Lewolema vs Hutan Lindung: Kesepakatan

n   Kampar, Riau: Kuntu vs HTI (RAPP): Perundingan

n   Pasir, Kaltim: Lusan vs HPH PT RKR: Tersendat

Masyarakat bisa membuka kebun 200 H didalam hutan lindung dengan jaminan ketika 3 tahun mereka membuktikan bahwa tidak merusak hutan maka mereka akan diberikan 5000 Ha untuk berkebun. Bapak-bapak bisa merefreksikan itu di kampung masing-masing dan itu saja presentasi saya dan terima kasih.

 

 

 

 

Edison Robert Giay,

Materi: Pemetaan Partisipatif Sebagai Suatu Alat Legitimasi Ruang Kelola Masyarakat Adat Papua;

Saya dari ptPPMA dan saya bekerja sudah hampir 12 Tahun. Apa yang kami lakukan, itu yang kami sampaikan dari pengalaman saya bersama masyarakat.  

Hal ini muncul karena semua ruang lebih banyak dikapling oleh pemerintah. Sehingga kemudian kita coba bicara dimana ruang untuk masyarakat adat mengembangkan diri. Memang, tidak banyak orang yang bisa buat peta partisipatif, disini kami baru memulai. Jadi, saintis yang bekerja untuk menggunakan alat ini lebih banyak bicara soal SDA tapi tidak mempetakan soal manusianya. Pemetaan ini kemudian menjadi :

  1. Pemetaan partisipatif ( Participatory Community Mapping) diperkenalkan sebagai suatu alat untuk memberikan pengakuan tentang “ruang kelola rakyat”;
  2. Alat atau konsep pemetaan partisipatif sebenarnya telah banyak
    dipergunakan oleh para Ilmuan untuk kepentingan Pengembangan Ilmu 
    Pengetahuan. Terdapat beberapa metodologi pendekatan untuk mengkaji
    kepentingan masyarakat adat dan penguasaan serta PSDA (MLA-CI,
    Ecosistim Spacial Planing – WWF dengan kegiatan Bio-Social Vision Transfly
    di Merauke termasuk kajian ttg HVCF dan salah satu yang dipergunakan oleh
    ptPPMA Papua adalah metodologi Lifelyhood and Landscape Strategi (LLS);
  3. Wujud sebenarnya dari konsep pemetaan partisipatif adalahdibentuk/
    dibangun/digambar peta wilayah adat secara partisipatif oleh komunitas
    masyarakat adat yang bersangkutan berkaitan dengan  ruang kelola
    masyarakat adat  yang meliputi  tanah, hutan, air (Sungai/Kali, laut/pesisir,
    kadungan mineral  yang  terdapat di dalam tanah) dan Udara    (Karbon/REDD
    dan CDM)

Kita tidak hanya asal buat peta saja tapi juga menggali kehidupann komuniatas adat. Kami coba memberikan gambar hak-hak yang menjadi kepunyaan masyarakat dengan menggunakan bahasa setempat. Kita melawan orang yang mengambil hak kita karena hak itu pasti menyatu  dengan jiwanya. Berikutnya, tahapan proses pemetaan. Jadi, metode ini kia coba dikabpaten jayapura di Nimboran, Kemtuk Gresi, di daerah kawasan Cyclops. Waktu kami buat peta ini kami dapat hasilnya, saya dengan Pak Marthen presentasi ini di masyarakat, kegiatan peta yang kita buat di, pertama di wilayah:

  1. Masyarakat adat Nambluong;
  2. Masyarakat adat Kemtuk Gresi;
  3. Peta wilayah adat untuk beberapa Marga Kampung Maribu, Wauna di Distrik Depapre dan Sentani Barat (Orang-orang Mooy)
  4. Peta wilayah adat untuk beberapa Marga Kampung
    Sentosa

Untuk Wilayah 1 (Satu) dan 2 (dua) hampir menyeluruh kita buat petanya sementara 3 (tiga) dan 4 (empat), belum semua kita buat petanya. Hasil peta partisipatif masyarakat adat bisa kita lihat dalam peta ini. Semua harus terungkap dan juga melibatkan masyarakat secara langsung juga dalam hal pemetaan wilayah dengan mengajarkan mereka menggunakan alat tersebut.

Dari peta ini kita dapatkan 5 marga besar, yang digambarkan dengan angka 1-5. kalau yang 150 Ha 4 sudah beres tapi ada bagian-bagiannya yang belum. Pengakuan untuk perlindungan hak Masyarakat Adat atas penguasaan pengelolaan SDA yakni ….. (slide).

Permasalahan utama masyarakat adat dari peta yang kita buat diantaranya adalah … (slide) . Kita harus bisa membuat badan usaha milik Masyarakat Adat sehingga mereka bisa belajar hal itu. Kesimpulan dan penutup adalah :

  1. Bahwa secara khusus kita punya  UU No. 21 Tahun 2001, tetapi perangkat
    peraturan pelaksananya belum selesai (Draft2 PERDASUS dan PERDASI sudah ada)
  2. Secara Nasional untuk beberapa Peraturan Perundang – undangan memberikan peluang untuk pilihan kebijakan di dalam Tingkatan Peraturan Perundangan (Hirarki).
  3. Dalam kerjasama Internasional terdapat beberapa  standar kebijakan dan konvensi Internasional untuk melindungi hak-hak masyarakat adat (seperti FPIC, TLAS,
    Deklarasi Hak-Hak Masyarakat Adat ) .

Itu saja dan terima kasih.

Moderator

Pak Edi pakai waktunya pas, terima kasih, selanjutnya kepada pemateri berikut Bapak Laurens Lani

Laurens Lani

Materi : Pemetaan Partisipasi Multipihak di Kabupaten Jayawijaya.

Kami sadar bahwa tanah tidak akan berkembang, sementara manusia pasti berkembang. Kami masyarakat disana belum siap bersaing dengan masyarakat diluar. Kami disana, ketika bicara tanah kepemilikannya adalah komunal. Dari perkembanganke perkembangan akhirnya kami harus mengatur hal ini menjadi lebih baik. Kami bekerjasama dengan dinas kehutanan. Kehuatanan menyangkut pendanaan sdangkan kami bicara tehnis dan proses adatasi sosialnya. Kami sebelumnya hidup dalam 27 wilayah pemerintahan adat sebelum masuknya pengaruh2 dari luar masuk ke jayawijaya. Disana ada struktur pemerintahan adat. Kepala suku wilayah adat membawahi kepala2 suku yang ada. Kepala suku membawahi kepala2 klen. Kami merasa perlu mengangkat ini karena selama ini struktur yang sudah tersusun ini seolah tidak diakui oleh pemerintah.

Yang paling penting disini adalah proses sosialnya. Pengelolaan sumber daya alam didasarkan pada tata guna lahan dan dikelompokkan dalam dua zona besar yakni zona okama (hutan) dan zona selekma (pemukiman). Hutan dimaksudkan adalah hutan rimba yang disana tidak ada manusianya. Sebentar kita akan bicara soal kepemilikan dan pengelolaan msyarakat sudah punya aturan.

Contoh Ini salah satu daerah di Walesi yang saya jadikan sample. Mereka sudah menuliskan wilayah2 yang mereka miliki namun besarannya belum mereka jabarkan.

Kita mengambil gambar peta tidak dari atas namun mulai dari bawah yakni langsung kepada manusianya. Ini karena Kerjasama antara kita dengan masyarakat ditingkat kabupaten, distrik, dan kampung. Dengan demikian maka Kerjasama pemerintah dengan masyarakat akhirnya bisa diakui. Ada beberapa contoh gambar dimana kita membuat pertemuan kapela untuk membuat sketsa peta juga tentang pengambilan titik GPS di puncak Trikora.

Sorvey Peta

Saya pikir itu saja dari saya dan terima kasih.

Moderator

Bapak ibu sekalian masih bingung atau siap memberi pertanyaan. Kalau sesi pertama lebih banyak bertentangan, kalau bisa sesi kedua ini lebih banyak bisa membantu menjawab persoalan2. waktu kita sudah jam 4 karena kita tadi melanggar satu jam. Saya minta waktu bapak ibu kalau bisa diskusi kita hanya 30 menit. Saya akan kasih waktu untuk 5 orang penanya.

Anike T. Sabami

Saya pikir di Papua semua hal selalu di politisasi, karena pasti belum ada yang baik buat masyarakat dan pasti tidak akan ada keberpihakan bagi masyarakat. Intinya, kita belum mampu memberikan keyakinan kepada Negara untuk mengakui hak-hak atas tanah dari masyarakat adat.

Frida T. Kalasin

Saya ingin melihat dari ujung pohon, bahwa otonomi khusus adalah salah satu regulasi yang baik namun kita belum optimalkan. Ditingkat Propinsi misalnya yang sebenarnya sudah dibuat namun belum diberlakukan sampai hari ini. Untuk teknisnya sebenarnya tinggal kita dorong Kabupaten dan Kota untuk melaksanakannya. Kedua, kita kembali merefleksikan sebagai masyarakat adat Papua. Saya tidak sepakat ketika kita bicara tentang hutan sebagai ibu kandung, sedangkan perilaku kita belum sama dengan apa yang menjadi ucapan kita. Yang disebut dengan orang adat karena ia bisa beryukur dengan wilayahnya. Otsus sebenarnya memberi peluang kepada kita tinggal bagaimana kita memberi bobot kepada Otsus agar bisa berjalan dengan maksimal. Terima kasih.

Arobi A. Aituarauw.

Prof. Paulus sutopo, seorang psikolog bahwa di papua telah terjadi kehancuran komunitas. Kehancuran itu seperti tercerai berai dan tugas kita bagaimana merajut kembali hal yang tercerai berai itu. Saya pikir soal Perdasus, kita di MRP sudah memberikan pertimbangan terhadap 10 raperdasus. Yang terakhir tentang Raperdasus Peradilan Adat. Saya pikir tugas MRP 5 tahun terakhir ini adalah memproduksi Raperdasus. Saya mau bicara supaya Pak Marthen dengar bahwa Perdasus sebenarnya itu sudah ditandatangani tinggal salinannya yang belum. Sebenarnya pemetaan partisipatif merupakan cara terbaik untuk bagaimana menganyam kembali hal yang tercerai berai. Juga saya sering bilang bahwa kita harus melakukan yang namanya revitalisasi, reposisi dan refungsionalisasi lembaga2 masyarakat adat di Papua. Saya pikir itu yang dapat saya sampaikan. Terima kasih.

Vitalis Yumte

Saya berfikir, diskusi kita kali ini dan momen yang lalu dan juga sebuah pernyataan yang disampaikan ketua panitia tadi dimana tahun 2030 bahwa asumsi orang papua hanya tinggal 15%. Oleh sebab itu, sebagai orang aslipapua yang hidup diatas tanah ini harus bisa merencanakan masa depan yang lebih baik di tanah ini. Mungkin dengan era otonomi khusus ini, coba kita libatkan teman2 yang bisa membantu kita untuk memperjuangkan ini secara berkelanjutan. Kalau kita mau menyelesaikan papua dengan unsure politi, sebnarnya itu justru sangat mempersulit kita sendiri. Aya minta kepada kepala dinas kehutana  untuk mau bekerjasama dengan kami untuk kedpannya kita mampu mengukur gar tahun 2030 nanti tidak terjadi seperti asumsi tadi.

Ir. Noff Kastella,MP. (Kepala Balai Botanical Forest Garden Dinas Kehutanan dan konservasi Papua)

Terima kasih. Hutan milik adalah hutan yang ada sertifikasinya. Di Papua, hampir semua hutan adalah hutan adat. Di Fakfak masyarakat adat menanam pala di tempat cagar alam hutan lindung. Pertanyaan saya, apa yang bisa membuktikan bahwa tanah itu adalah tanah adat. Kedua, lembaga mana yang harus kita percayai , apakah lembaga yang sudah dibentuk ataukah lembaga yang baru dibentuk. Ketiga, bahwa Menteri Pertanian telah mengeluarkan Peraturan No 26 tahun 2009 tentang pemberian 20% hasil pertanian dan perkebunan kepada masyarakat adat. Pertanyaan saya, apakah prosentase tersebut diterima atau ada cara lain yang ingin dilakukan. Terimakasih.

Kabupaten Manokwari

Terima kasih untuk semua,Sebenarnya kita sendiri juga sering bakutipu

Peta ini sebenarnya bisa muncul dua hal yakni sebagai pemicu dan juga pendukung. Di oslo, norwegia, brazil. Masyarakat adatnya juga sangat tertinggal.

Emil Kleden

Cara pandang itu sendiri sebenarnya itu dari kita, berbeda dengan perilaku yang berasal dari luar kita. Sebagai contoh, ketika ada salah seorang anak Papua yang bisa menjadi juara fisika, sontak seluruh dunia kaget ternyata ada orang cerdas di Papua.  Itu bisa merubah cara pandang, sementara perilaku kitalah yang harus merubah pandangan itu, itu sama dengan kebijakan. Proses legislasi bisa dipaksa lewat pressure, kalau kita di politisi, saya sepakat.  Juga soal revitasilisasi, reposisi, refungsionalisasi saya juga sepakat tapi juga harus diberi catatan sistem adat yang mana yang dinamis atau yang statis. Seperti seorang anak dengan bapaknya konflik karena anak ingin berubah karena sudah sekolah sementara bapak tidak mau berubah. Untuk itu mari kita perjelas sistem adat mana yang bernilai tetap dan bernilai dinamis. Untuk di Slavia, Norwegia dan Negara-negara yang ada di belakang itu memang menginginkan agar masyarakat adat itu harus mendapatkan perhatian terutama soal bantuan. Tapi juga ada Negara-negara yang menolak seperti Amerika, Australia dll. Ini harus kita sikapi sama-sama. terimakasih. Itu saja yang dapat saya sampaikan.

Edison Giay (pt PPMA)

Dengan peta seperti begini akan membantu kita soal pendekatan kepada masyarakat. Ada satu proses baru untuk kesepakatan masyarakat kedepan dengan peta sebagai acuan itu. Bagi saya selain kelemahan, bahwa ada nilai positif, untuk membuat perubahan agar tidak termarginalkan dalam era globalisasi. Apa yang menjadi milik masyarakat kini sedang diperdagangkan oleh dunia internasional terutama soal hutan. Untuk itu dengan peta kita akan melihat sejauh mana perubahan masyarakat terutama dalam partisipasinya dalam pembangunan masyarakat adat di kampong-kampung. ada seorang penulis di Amerika mengatakan bahwa barang ini harus di coba bila perlu sampai berkelahi agar ketika damai kita semua akan kembali baru. Terima kasih.

Moderator

Bapak/Ibu saya tidak akan kasih waktu lagi karena waktu kita sudah habis. Jangan tepuk tangan dulu karena saya mau tambahkan sedikit lagi bahwa pertanyaan-pertanyaan kita ini sering sekali kita dengar tapi saya sepakat bahwa pemetaan pertisipatif itu sangat penting dan juga jangan sampai kita menjadi orang yang tetutup karena bisa jadi kita akan punah sebagai yang disampaikan oleh Pak Kleden tadi.

Pak Marthen Kayoi (Kadis Hutan dan Konservasi Papua)

Saya ingin mengintegrasikan beberapa soal indeks prestasi. Ada alat yang memang mampu melihat sesuatu secara jelas dalam jarak dua meter. Saya diantar oleh Pak Viktor ke Museum di Belanda bahwa ternyata mereka disana sangat tahu Papua mungkin lebih daripada kita. Sekarang juga ada radar yang disimbolkan dengan warna. Peta yang tadi kita berikan hanya peta buta yang kemudian masyarakat menggambar sendiri dan kita masukkan kedalam alat untuk overlay dan itu kemudian lebih di sempurnakan. Kalau bisa saya ingatkan, antara hutan Negara dengan hutan adat kalau bisa jangan dibenturkan. Dengan peta ini juga memastikan eksistensi orang asli papua. Apa yang dkatakan Ir. Noff Kastella tadi perlu ada sebuah kajian dengan menggunakan peta ini sebagai acuan. Di kehutanan kita katakan bahwa kalau bisa semua yang ada dihutan kalau bisa dipetakan dengan baik.  Dengan peta ini kita bisa menjelaskan tentang masalah yang ada.

Saya mau mengingatkan bahwa peta itu baik dan keterbukaan juga baik. Tapi hati-hati bahwa satelit itu milik Amerika karena sekarang telah banyak kasus pencurian melalui peta dll.

Lyndon B. Pangkali (KPH Papua)

Kebisaaan masyarakat kita adalah dengan bahasa lisan sehingga kalau kita mati tidak ada yang kita tinggalkan. Kita harus berubah kalau bisa kita lebih pada tulisan. Dengan peta kita akan semakin lebih maju dan tidak akan terjadi konflik antar batas wilayah.

Terimakasih moderator, saya berharap kita masih tetap menjaga bahwa Papua berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Peta memang baik, ketika saya berada di Korsel, Negara yang begitu maju tapi di satu sisi masih ada kampung-kampung yang hijau dan dijaga seperti gadis perawan, mereka melindungi bahkan oleh dunia internasional. Kita boleh berubah, tapi untuk hal-hal yang substansi jangan dulu dirubah. Salah satu hutan terbesar didunia adalah Papua karena itu kita harus jaga dengan baik hutan kita agar bisa melindungi dunia.

Terima kasih, pertemuan pada hari ini semua sudah kita bicarakan namun belum ada dari masyarakat yang bicara. Saya hanya sarankan begini, kita yang ada di kabupaten ini dengan peta kita bisa melindungi hak-hak kita. Apa yang disampaikan oleh Kepala Dinas kehutanan dengan segala perangkat hukum yang dijelaskan. Saya sarankan, kalau bisa kita dukung apa yang dilakukan oleh Kepala Dinas kehutanan, dan apa yang disetujui oleh MRP. Karena kita dikampung juga tidak bisa melarang masyarakat untuk tebang hutan karena dia bilang saya mau makan. Saya juga dari koperasi (kopermas). Saya dari genyem dan kalau tanya, saya paling keras karena kalau tidak ada komentar maka anak panah yang keluar. Disini saya lihat banyak sekali orang MRP, Sebenarnya MRP buat apa, untuk apa dan untuk siapa. Terima kasih.

Moderator

Saya pikir tidak perlu saya beri kesempatan lagi karena waktu kita sudah habis. Sebenarnya masih ada materi ketiga tapi kita snack dulu. Termakasih.

Sesi ketiga;

Pak Made

Selamat sore bapak/ibu semua, saya mendapat kehormatan bisa hadir disini. Saya datang dari Bali. Setelah saya mengikuti materi dari awal samai sekarang, sejujurnya saya sangat tertarik. Kami sedang mengembangkan sumber daya komunitas dan akan kami perjuangkan dalam pengelolaan tata ruang desa. Saya ketika membandingkan Bali dengan Papua, ternyata Bali seperti semut bila dibandingkan dengan Bali. Bali sangat mengalami tekanan karena pengaruh dari pihak luar. Saya ambil contoh di Tenganan Pegringsingan di Bali. Dibelakang sana ada ibu-ibu yang sedang belajar. Bali sangat percaya dan kental dengan keyakinan yakni Dewa Indra sebagai dewa perang yang berhasil mengalahkan Raja Mayadenawa (Raja Mayadewana adalah simbol keserakahan). Karena tidak mau berbagi dengan masyarakat, tata ruang mereka dibuat seperti benteng, tetapi setelah menang Dewa Indra kemudian memberikan hadiah berupa wilayah sejauh bangkai kuda tercium kepada wong paneges.

 

Wilayah disana seluas 917 hektar di bagian timur Bali. Sawah mereka dikelola oleh masyarakat disekitarnya dan mereka mendapatkan jatah dari hasil panen tersebut. Konsep filosofis mereka adalah asas keseimbangan. Sistem individu diimplementasikan dalam bentuk zona wilayah, ritual/kltur dan Awig-awig atau peraturan desa adat.

Keseimbangan juga dibuat dengan zonasi – Tri Hita Karana yakni :

  • Parahyangan: hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhannya – konsekuensi keberadaan Pura
  • Pawongan: hubungan yang harmonis antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya – keamanan, kenyamanan, dan ketentraman
  • Palemahan: hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam lingkungannya – peruntukan ruang

Ritual mereka diterjemahkan secara standart yakni sesajen yang terdiri dari:

ü  Terdiri dari patram, puspam, phalam, toyam (daun, bunga, buah, air )

ü  Makna: simbolis dan filosofis, serta pesan untuk melestarikan alam.

Karena kebutuhan mereka yang berbeda sehingga mereka membuat aturan diwilayahnya untuk mempertahankan wilayahnya berupa Awig-awig dan Dresta, yang merupakan:

ü  Aturan tertulis dan tidak tertulis yang merupakan benteng terakhir untuk menjaga kelestarian alam dan kehidupan yang ada didalamnya.

Menurut saya ada strategi komunal yang dibangun untuk melindungi dan mempertahankan kekayaan sumber daya alam yang mereka miliki, misalnya “ perihal harta kekayaan barang siapapun orang desa itu kepatutannya tidak boleh barang siapapun orang desa itu menggadaikan atau menjual sawah, tegalan, pekarangan; apabila ada melanggar diketahui oleh barang siapapun orang itu, patut yang digadaikan atau dijual disita oleh desa seperti yang tersebut di depan dan patut barang siapa orang desa itu didenda oleh desa sebesar 2000 (kepeng) …”

  • Pohon yang ada di dalam wilayah desa tidak boleh ditebang sembarangan, terutama pohon nangka, tehep, kemiri, pangi, cempaka, durian, dan enau.
  • Larangan pemungutan hasil bumi, seperti pisang yang berbuah pertama kali, dua tandan kelapa dalam sepohon, sirih lebih dari satu genggam, dan dua batang bambu dalam serumpun
  • Beberapa jenis buah, seperti durian, tehep, pangi, dan kemiri tidak boleh dipetik bahkan oleh pemiliknya sendiri, tetapi harus dibiarkan matang di pohon. Buah yang sudah jatuh baru boleh diambil oleh siapa saja.

Karena di Bali mereka percaya bahwa pohon-pohon tersebut memiliki  stratanya masing-masing, untuk itu mereka sangat melindungi, yang menarik disini adalah Larangan pemungutan yang sangat detail diatur, walaupun pohon ini ada di rumah bapak ibu tidak oleh diambil sembarangan, sebagai berikut:

  • Desa adat mempunyai hak ngrampag, mengambil hasil bumi dengan cuma-cuma termasuk di tanah milik pribadi untuk menyelenggarakan upacara.
  • Pengambilan harus dibatasi sesuai aturan, yaitu 7 butir kelapa, setandan pisang, setandan pinang, 12 buah berbagai jenis buah-buahan, sebuah nangka, 9 pohon umbi-umbian, 9 pohon isen, dan 12 buah ubi kayu dari sebidang tanah masing-masing.
  • Untuk pohon hanya diperbolehkan satu pohon kelapa, satu pohon pinang, dan satu pohon enau dari sebidang tanah masing-masing, serta sebatang bambu dari serumpunnya.

Dirumah, bagaimana mereka mengatur rumah dan tata ruang desanya. Desa memberikan hak kepada pengantin baru untuk membangun satu rumah, satu tempat nikah dan selanjutnya mereka berusaha sendiri. Dalam pandangan mereka bahwa pariwisata memiliki keuntungan dan kebersihan. Namun kenyataannya ternyata berbeda. Atas proses itu, secara fiscal dalam skala kecil di anggap cukup. Pada konteks itu, pariwisata sedang masuk dalam wilayah mereka. Bagaimana mereka menyikapi hal tersebut. Akhirnya, mereka besepakat untuk tidak tergantung dengan pihak luar dengan cara mereka membangun sawah seluas 250 hektar dan dari sanalah mereka mendapatkan keuntungan yang besar.

Kami bekerjasama dengan empat Desa. Ditingkat desa, mereka memiliki tanah komunal untuk masyarakatnya. Di Bali sendiri ada 1543 desa adat yang senantiasa:

  1. Meningkatkan kapasitas diri dan lembaga;
  2. Memperdalam pengenalan akan wilayah desa melalui pemetaan;
  3. Berjejaring dengan desa dan lembaga lain

Dari sekian desa, setiap desa adat itu ada Rajanya. Ada konsep di Bali, mereka membuat konsep kesatuan. Konsep mereka ada 3 yakni konsep Nyegara Gunung:

  • Konsep ‘nyegara-gunung’
  • Konsep ‘hulu-teben’
  • Konsep ‘makrokosmos-mikrokosmos’

Dalam kultur Sad Kerthi mereka percaya bahwa ada enam hal yang harus dilindungi antara lain:

  • Atma Kerthi: membangun lingkungan rohani yang spiritualis;
  • Wana Kerthi: kelestarian tumbuhan dan segala isinya (hutan);
  • Danu Kerthi: kelestarian dan kesucian sumber-sumber air tawar;
  • Segara Kerthi: kelestarian samudra sebagai tempat penyucian dan peleburan;
  • Jana Kerthi: pembinaan manusia yang cerdas dan berbudi pekerti;
  • Jagat Kerthi: melestarikan keharmonisan sosial yang dinamis (desa pekraman).

Ini menjadi konsep sumpah mereka dan akan mendapatkan sanksi tegas. Di Negara-negara maju mereka baru memulai proses penghijauan, tetapi dibali aturan ini sudah mengikat sejak lama

Aturan mereka diantaranya :

  • Jagalah kelestarian gunung dan pantai, gunung adalah sumber kesucian dan pantai tempat menghilangkan kekotoran, bagian tengah ‘dataran’ tempat melaksanakan kegiatan kehidupan
  • Hiduplah dari hasil tanganmu sendiri, jangan sekali-kali hidup senang dari merusak alam
  • Kalau tidak mematuhi, kamu terkena kutuk, tidak akan menemukan keselamatan, kekurangan bahan makanan dan minuman, terkena berbagai macam penyakit, dan bertengkar sesama saudara

Ini sebenarnya kata-kata bijak, saya yakin masyarakat di Papua banyak sekali kata-kata bijak. Di Bali bila dibandingkan antara tanah kecil dan penduduknya padat sementara Papua, tanahnya luas dan penduduknya sedikit. Saya pikir ini yang bisa saya sampaikan dengan contoh Bali. Kami mengkaji dan berusaha memasukkan tradisional ke dalam tata ruang di Bali. Saya lihat Papua ini kaya dan banyak sekali orang yang ingin rampok apa yang anda miliki. Mungkin ini pengalaman yang bisa aya bagi dan terima kasih.

Moderator

Saya rasa kurang kuat tepuk tangannya, selanjutnya saya persilahkan kepada pak Abdon Nababan.

Abdon Nababan (Sekjen Aman)

Materi :   Menggapai Masyarakat Adat  yang Berdaulat, Mandiri dan Bermartabat:
OTSUS Papua Vs Liberalisasi SDA

 

Sebelum sampaikan Materi saya ini, sebenarnya saya sangat senang karena telah dihantarkan oleh materi-materi yang luar biasa, di Tenganan Pegringsingan berlaku hukum adat kolektif terutama perempuannya. Kalau ada yang bertentangan dengan adatnya, orang luar tersebut akan diusir. Pandangan dasar AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) dalam hasil kongres yakni kalau Negara tidak mengakui kami maka kami juga tidak akan mengakui Negara. Gambaran ini bukan hanya terjadi di Papua karena juga banyak ditempat-tempat lain karena menurut saya Papua sangat terakhir mendapatkan eksploitasi. Kekayaan alam bisa menjadi kutukan karena daerah-daerah ini yang  mempunyai pelangaran HAM terbesar,yang terbaru kalau kita lihat dimana liberalisasi SDA yakni dagang karbon. Itulah gambaran situasi kita saat ini. Pertanyaannya, bagaimana masyarakat adat berhadapan dengan situasi seperti ini. Untuk itu, kita perlu tahu siapa yang menjadi masyarakat adat disini. Disitu ada asal usul tempat leluhur kita hidup, membangun lembaga adatnya dan inilah yang saat ini kita pakai untuk mengidentifikasi diri.

Masyarakat adat menurut Kongres Masyarakat Adat Nusantara (1999):

  • komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya
  •  Sebagai landasan untuk identifikasi diri………

Apa yang membedakan masyarakat adat dengan masyarakat yang lain. ?  masyarakat adat dilandasi 4 warisan utama leluhur yakni :

  • Kelompok orang yang memiliki kesamaan identitas budaya: spritualitas, nilai-nilai, bahasa, sikap dan perilaku yang membedakannya dengan kelompok sosial-budaya yang lain.
  • Wilayah hidup bersama: tanah, hutan, laut dan SDA lainnya bukan semata-mata barang produksi (ekonomi), tetapi juga menyangkut sistem religi dan sosial-budaya.
  • Sistem pengetahuan (kearifan?): sumber kreatifitas yang selalu berkembang (diperkaya/dikembangkan) sesuai kebutuhan hidup untuk berkelanjutan.
  • Seperangkat aturan dan tata kepengurusan hidup bersama atau pranata adat: masih hadir dan bekerja tapi cenderung menurun efektifitas seiring makin dominannya institusi negara dan korporasi

kalau yang bukan masyarakat adat tanah tidak ada arti kecuali karena faktor ekonomi. Di Bali, SDA mereka terbatas tapi pengetahuan dan kreatifitas mereka sangat cukup sehingga mereka berusaha memperahankannya. Saya dengar di sentani ada Festival Danau Sentani yang menunjukkan ada kreativitas baru dalam mempertahankan adat dan budayanya. Ketika kita membahas UU otsus, fungsi MRP harus mampu mempertahankan 4 warisan tersebut.

Karena persoalan ini tidak hanya ada di Papua tapi di seluruh dunia sehigga ini diperjuangkan sampai ditingkat internasional. Kita juga punya deklarasi PBB (UNDRIP sebagai Instrumen HAM Internasional), tentang masyarakat adat. Disana ada tanah, wilayah dan sumber daya alam:

  • UNDRIP merupakan suatu tonggak bersejarah dalam perjuangan MA untuk menegakkan HAM dan kebebasan dasarnya
  • UNDRIP memberikan penegasan bahwa MA memiliki hak kolektif atas (antara lain yang terpenting):

–        Tanah, wilayah dan sumberdaya alam;

–        Budaya dan kekayaan intelektual;

–        Penentuan nasib sendiri;

–        Free, Prior And Informed Consent (FPIC);

–        Penentukan model dan bentuk-bentuk pembangunan yang sesuai.

Alinea 6 pembukaan :

  • Memperhatikan bahwa masyarakat adat telah mengalami penderitaan dari sejarah ketidakadilan sebagai akibat dari, antara lain, penjajahan dan pencerabutan tanah-tanah, wilayah dan sumber-sumber daya alam mereka, sehingga menghalangi mereka untuk menggunakan, terutama, hak mereka atas pembangunan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingannya;

Alinea 22 Pembukaan:

  • Mengakui dan menegaskan kembali bahwa warga-warga masyarakat adat diakui, tanpa perbedaan, dalam semua hak-hak asasi manusia yang diakui dalam hukum internasional, dan bahwa masyarakat adat memiliki hak-hak kolektif yang sangat diperlukan untuk menjamin keberlangsungan mereka, keberadaan dan pengembangan diri mereka secara utuh sebagai kelompok masyarakat.

 

Penentuan Nasib Sendiri (Pasal 3-5)

Pasal 3

  • Masyarakat adat mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Berdasarkan hak tersebut, mereka secara bebas menentukan status politik mereka dan mengembangkan kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka.

 

Hak Atas Pembangunan
(Pasal 23 & 32)

Pasal 23 :

  • Masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan dan mengembangkan prioritas dan strategi untuk melaksanakan hak-hak mereka atas pembangunan. Terutama, masyarakat adat memiliki hak untuk terlibat secara aktif dalam pengembangan dan menentukan program-program kesehatan, perumahan dan program-program ekonomi dan kemasyarakatan yang mempengaruhi mereka, dan sejauh mungkin mengelola program-program tersebut melalui lembaga-lembaga mereka sendiri.

Pasal 32:

  • Masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan dan mengembangkan prioritas-prioritas dan strategi-strategi untuk pembangunan atau penggunaan tanah-tanah atau wilayah mereka dan sumber daya lainnya.
  • Negara akan berunding dan bekerjasama dalam cara-cara yang tulus dengan masyarakat adat melalui institusi-institusi perwakilan mereka sendiri supaya mereka dapat mencapai persetujuan yang bebas tanpa paksaan sebelum menyetujui proyek apapun yang berpengaruh atas tanah-tanah atau wilayah mereka dan sumber daya yang lainnya, terutama yang berhubungan dengan pembangunan, pemanfaatan atau eksploitasi atas mineral, air, dan sumber daya mereka yang lainnya.
  • Negara akan menyediakan mekanisme yang efektif  ganti rugi yang adil dan pantas atas aktifitas [pembangunan] apapun, dan langkah-langkah yang tepat akan diambil untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan hidup, ekonomi, social dan budaya atau spiritual.

 

Hak-Hak atas Tanah, Wilayah (Teritori) dan SDA (Pasal 25-30)

Pasal 26 :

  1. Masyarakat adat memiliki hak atas tanah, wilayah dan sumber daya yang mereka miliki atau diami secara tradisional ataupun yang telah digunakan atau yang telah didapatkan;
  2. Masyarakat adat mempunyai hak untuk memiliki, menggunakan, mengembangkan dan mengontrol tanah, wilayah dan sumber daya yang mereka miliki atas dasar kepemilikan tradisional atau penempatan, atau atas dasar  pemanfaatan secara tradisional lainnya, atau juga yang dimiliki dengan cara lain;
  3. Negara akan memberikan pengakuan hukum dan perlindungan atas hak-hak ini. Pengakuan itu harus dilakukan sejalan dengan penghormatan atas kebiasaan-kebiasaan, tradisi-tradisi dan sistem penguasaan tanah pada masyarakat adat yang bersangkutan.

Catatan:

(Bagaimana hak-hak ini diletakkan dalam penataan fungsi ekologi suatu kawasan (tata ruang)? Alas hak atas suatu kawasan hutan (tidak untuk dinegosiasika) harus diatur dan diurus terpisah dari fungsi (alokasi penggunaan yang bisa disepakati/negotiable). Pemanfaatan kawasan pun harus diatur dan diurus terpisah berdasarkan kesepakatan (negosiasi) antara pemegang hak (masyarakat adat), pemerintah sebagai penjamin kepentingan publik (Dephut), pemegang hak pemanfaatan (pengusaha?)

 

Ini standart internasiol, apa yang disebut penentuan nasib sendiri dan hak atas pembangunan. Masyarakat adat berhak menetukan apa prioritas mereka dan apa yang menjadi strategi mereka.  Hak atas Free, Prior & Informed Consent (Pasal 10, 11, 28, 29, 32)

  • Pasal 10 – tidak boleh terjadi relokasi tanpa FPIC
    • Pasal11 – Negara harus melakukan pemulihan bagi Masyarakat Adat yang kepemilikan budaya, intelektual, religi dan spritual diambil tanpa FPIC
    • Pasal 28 – pemulihan hak atas tanah, wilayah dan sumber daya yang dikuasai atau digunakan, dan yang telah disita, diambil alih, dikuasai, digunakan atau dirusak tanpa FPIC.
    • Pasal 29 – tidak boleh ada penimbunan atau pembuangan sampah di atas tanah dan wilayah adat tanpa FPIC
    • Pasal 32 – FPIC harus diterapkan sebelum persetujuan atas proyek yang terkait dengan tanah, wilayah dan SDA Masyarakat Adat

kalau itu sudah terjadi, seharusnya Negara bisa melakukan pemulihan. MRP sebagai representasi masyarakat adat di Papua, seharusnya bisa mengkomunikasikan ini kepada berbagai pihak. Saya tahu bahwa banyak sekali oganisasi-organisasi internasional yang harusnya melaksanakan ini karena sebenarnya hal ini mengikat mereka untuk badan-badan PBB. Kedua, kita harus menyelesaikan masalah Negara dengan masyarakat adat. Dimana ada hak otoritas adat terhadap wilayahnya dan Negara tidak boleh intervensi didalamnya. Kita harus memperjuangkan ditingkat Internasional dan Nasional:

Ditingkat Internasional :

  • Memastikan lembaga-lembaga internasional bekerja di Indonesia dengan kerangka-hukum HAM internasional, terutama UNDRIP dan Konvensi ILO 169
  • Penataan hubungan antara Masyarakat Adat dengan Negara: reformasi pemerintahan dan birokrasi untuk pemulihan dan perlindungan terhadap Otonomi Asli Komunitas Adat – OTDA dan OTSUS
  • UU khusus untuk pengakuan, penghormatan dan perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat adat
  • PERDA(SUS) Kabupaten/Provinsi: pengakuan dan perlindungan atas hak-hak kolektif Masyarakat Adat, serta tersedianya alokasi dana khusus untuk pemberdayaan pranata adat (hukum, kelembagaan)

(dan) di Tingkat Nasional:

  • Renegosiasi hak-hak konsesi (hutan, tambang, perkebunan, migas) sesuai dengan prinsip-prinsip FPIC
  • Membangun strategi revitalisasi dan rekonstruksi kelembagaan adat di masing-masing daerah sesuai kondisi faktual masyarakat adat
  • OTSUS Papua – apakah sudah berhasil menjamin hak-hak dasar Orang Asli/Masyarakat Adat Papua?

Khususnya Revisi UU No. 41 Tentang Kehutanan. Kalau UU ini di revisi, paling tidak ada 30 Juta hektar hutan, ada yang bisa di selamatkan. Sebenarnya, di keempat warisan tadi harusnya masing-masing dibuat Perdasusnya. Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak MRP kan dari daerah-daerah, maka pasti tahu kondisi. Harus ada kerja MRP untuk mempertemukan masyarakat adat dengan pihak2 lain untuk menjamin hak-hak masyarakat adat. Saya secara khusus membicarakan tentang Otsus di Papua. Siapa yang harus melakukan evaluasi sebenarnya. Kalau kita melihat ada 5 hal penting yang  istimewa dalam Otsus Papua, yakni ada:

  1. MRP,
  2. Perdasus,
  3. Dana Otsus,
  4.  11 kursi di DPRP,
  5. Partai Politik Lokal

Tantangan kita, dari dalam diantaranya:

  • Wilayah adat/identitas kebudayaan versus Wilayah politik/administrasi negara – politik ekonomi pemekaran
  • [Pemangku] adat telah disingkirkan dari politik kenegaraan – adat ‘diharamkan’ bicara politik — padahal lembaga adat, pada hakikatnya, adalah juga lembaga politik, khususnya musyawarah adat.
  • Manipulasi adat oleh para politisi partai/birokrasi dan pengusaha: dari musyawarah (kolektif) menjadi hanya urusan segelintir “elit adat”
  • Belum ada unit pengorganisasian masyarakat adat yang kuat dari tingkat komunitas ke kabupaten, provinsi, nasional dan internasional….

karena ada dana iming-iming, sehingga ada kecenderungan untuk mengejar dana itu. Ini sumber kehancuran sebenarnya. Karena itu, jangan terjadi manipulasi adat, ada negosiasi yang secara representasi tidak memenuhi kesepakatan adat. Yang kita sebut BUMA Kelembagaan usaha masyarakat adat yang berbasis pada hak-hak kolektif/komunal (BUMMA) dan Ekonomi kreatif berbasis budaya Masyarakat Adat , harus kita bicarakan tuntas. Papua sebenanya tidak cocok bicara mengentaskan kemiskinan tapi bagaimana bicara untuk mencari cara mengelola kekayaan.

Beberapa tantangan dari luar…..

  • Reformasi belum selesai – kebijakan (peraturan per-UU-an dan program pembangunan) yang berlaku masih warisan dari rejim lama
  • Pelaku ekonomi dari rejim lama cepat menyesuaikan diri dengan OTODA – membangun basis politik dengan politik elit daerah (investasi di politik kekuasaan daerah)
  • Corporatocracy terus Vs democracy

UU No 27 tahun 2007 tentang perikanan yang sudah selesai sudah bisa memperoteksi dengan memberikan hak pengelolaan kepada masyarakat adat, yang saya lihat, telah terjadi pembengkakan ekonomi dalam wilayah politik. Menurut saya, ini tantangan kita kedepan bagaimana memperkuat Pak Marthen dan kawan-kawan juga Pak Bernabas Suebu (Gubernur Papua), agar dapat menangkal hal ini. Saya selalu menjadi perwakilan untuk hadir dalam pertemuan-pertemuan internasional, jangan takut membuka adat kita karena takut rahasia adat akan terbongkar, karena apa yang menjadi isi perut dari wilayah adat kita lebih banyak dimiliki oleh orang lain. Terakhir, saya tidak tahu apakah ini akan memberatkan MRP atau tidak, tapi harusnya ada tempat untuk masyarakat adat bisa mendaftarkan wilayahnya kalau perlu diberikan sertifikat. Terma kasih.

Moderator

Saya pikir kita beri aplaus lagi. Baik kita harus semangat bahwa kita tidak sendiri bahwa ternyata diluar sana banyak sekali saudara-saudara kita yang bernasib sama dengan kita. Waktu kita sudah habis tapi karena materi bagus bagaimana kalau sampai makan malam. Dibali ada banyak kasusdimana tanah tidak dijual disana. Oke ada yang bertanya silahkan.

Saya hari ini sangat senang, karena perbandingan di Bali dimana tanahnya sudah bersertifikat namun ada juga aturan untuk tanahnya tidak boleh dijual. Disini, Pemerintah berencana mengeluarkan produk hukum agar tanah-tanah di Papua dibuat sertifikatnya tapi kalau bisa sepetti di Bali ada aturan dimana tanah tidak boleh lagi djual.

Di Papua sendiri terjadi dualisme sistem di tataran kampung. Mungkin kita bisa menjadi acuan dari empat lain, kira-kira hak-hak ini bisa masuk dalam sistem tapi tidak mesti satu model, mungkin ada arah yang lain sehingga masalah tanah di Papua bisa teratasi.

Hari ini kita habiskan pertanyaan-pertanyaan itu, Silahkan

Jack Kasimat (Sekjen DAP)

Saya sangat berterima kasih karena disaat masalah hak-hak adat ini terasa panjang, tapi kita bangga karena kita yakin dengan kebenaran adat kita. Ada kasus di Sorong, berlaku HPH yang sudah selesai tapi itu dikemanakan. Kebetulan ada AMAN disini, tanah yang sudah selesai HPH-nya itu milik siapa. Saya pikir pembicaraan kita soal masyarakat adat juga bisa di ruang-ruang masyarakat adat. Kendala kita disini bahwa bagaimana mekanisme itu dibuat. MRP sendiri sebagai lembaga kultur dengan membuka tempat-tempat pengaduan namun tidak ada regulasi untuk menjalankan mekanisme itu. Oleh karena itu mungkin, menurut AMAN mekanisme bagaimana yang bagusnya disusun untuk dapat menolong kearah lebih baik. Menurut kami, OTSUS jika sengaja diobok-obok maka kami juga akan bisa mengiangkan kembali pemisahan diri dari NKRI. Apa yang orang Papua tidak berikan ke NKRI. Terima kasih, itu saja dan terima kasih.

Ibu Marion Gobay

Pemateri pertama berbicara tentang Bali. Kalau kita bangun daerah yang masih bagus, itu mudah. Tapi kalau papua, semuanya sudah kacau balau sehingga kita mau mulai darimana. Papua tidak bisa mengambil contoh dari mana-mana. dalam pandangan dunia internasional, MRP adalah parlemen tertinggi di tanah Papua tapi ternyata kami tidak bisa buat apa-apa. kami tidak punya hak legislasi. Orang hanya melihat MRP saja, bagaimana kalau kita bisa melihat semua dan berjalan secara  bersama maka akan lahir reinkarnasi sehingga Papua bisa baru kembali.

Adolof kogoya

Saya usul kalau bisa kita kumpulkan seluruh masyarakat Papua untuk hadir dan besama-sama membicarakan ini. Terima kasih

Hermias

Saya mau cerita tntang advokasi di wilayah Nabire. Berdasarkan penelitian kami ketika HPH ini dihentikan, ia menggunakan berbagai cara dan bekerjasama dengan militer. Mereka melakukan pendekatan-pendekatan dengan memberikan iming-iming kepada ondoafi sehinggga mereka bisa mengelola hasil kayu jati dalam jumlah besar dan membawanya keluar. Berikutnya, Saya tidak ahu apakah fungsi MRP bisa lebih diperkuat lagi. Itu usul saya. Terima asih.

Kornelis (wamena)

Saya berterima kasih dengan apa yang disampaikan oleh bapak dari Bali. Saya tinggal ditempat dimana jalan raya Trans Jayapura-Wamena. Disitu, terjadi jual beli tana besar-besaran dan bahkan terhadap tanah-tanah yang menurut masyarakat adat itu adalah tanah-tanah larangan. Akhirnya kami melaporkan kepada Bupati  JB Wenas dan kemudian itu disetujui dalam bentuk Peraturan Daerah. Setelah pemetaan, kami melakukan penguatan masyarakat dan sumber daya alam, semua sumber daya alam yang ada kami petakan dan diatur dalam pengaturan tata kelola untuk itu.

Laurens

Tadi ada bahasa kalau Negara tidak mengakui kami, maka kami tidak mengakui Negara. Saya pikir Otsus sebagai solusi dari tawaran politik. Apa artinya otsus kalau Perdasus itu tidak ada. Saya usulkan kalau bisa kita bicara soal evaluasi otsus kalau tidak mau kita tolak seperti tuntutan pertama kita.

Yosep

Bapak dari Bali, kamu punya adat bagus tapi menurut saya daerah saya digenyem punya adat juga bagus. Tapi mengapa kita takut sementara ini kita punya tanah sendiri.

Marthen Kayoi (Ka Dishut dan Konservasi Papua)

Dari presentasi Pak Abdon tadi sebenarnya, memperkaya kita untuk menabrak tembok. Kalau tabrak tembok tapi tidak siap diri maka kalau bukan tembok yang hancur maka kita yang hancur. Kita belajar dari Bali tapi kita tidak perlu mengambilnya seratus persen tapi bisa kita tarik bahwa disesuaikan dengan kondisi kita disini. Saya dengan Pak Abdon sering kita ketemu di Jakarta. Tapi kan kita punya garis sendiri. Saya dari birokrasi dan pak abdon sebagai aktivis. Untuk ibu, ketika HPH habis maka itu dikembalikan kepada pemerintah dan pemerintah mengmbalikan itu kepada masyarakat.

Anike sabami

Diskusi ini mau bilang stop juga tidak bisa. Kita bicara skala local tapi ditingkat nasional Indonesia sebagai Negara malah menolak itu hasil kongres di new york. Tom beanal menggunakan bahasa Indonesia ketika berbicara di New York. Inikan artinya orang Papua saja bisa mengindonesiakan orang Indonesia sementara orang Indonesia tidak mengakui orang Papua. Termakasih.

Moderator

Karena pertanyaan banyak jadi bisa disimpulkan saja.

Pa Made

Saya bicara Bali sebenarnya untuk mengsingkronkan Bali dengan Papua. Apa yang cocok saja yang bisa di ambil. Dibali dengan modal peta mereka siap bertarung dengan pengusaha dan pemerintah dengan alasan bahwa tanah adalah warisan untuk anak cucu mereka dimasa yang akan datang. Pengalaman kami adalah membangun ekonomi kreatif. Disana ada desa yang menggantungkan hidupnya dengan bertanam salak. Saat pertama panen, mereka menukar 1 kg salak dengan 4 kg beras. Namun dengan berjalannya waktu terjadi penurunan drastis dimana terbalik yakni 4 kg salak ditukar dengan 1kg beras. Akhirnya setelah kami audit ekonomi di daerah itu dan kami menawarkan agar salak itu dibuat menjadi wayne kalau dibali namanya tuak. Setelah itu 1 kg salak bisa dirubah menjadi 1 botol wayne seharga 75 ribu rupiah, Ada peningkatan kemudian dan harapan untuk masyarakat.

Abdon Nababan (Sekjen AMAN)

Kasus-kasus yang sama yang terjadi di Papua. Masyarakat asli yang tinggal di perkotaan seperti pengungsi ditananya sendiri. Untuk itu, aman sedang mengusahakan untuk supaya tanah-tanah masyarakat adat diberikan sertifikat. Di Bali, sistem politik tertingi ada didesa sementara lembaga Negara difungsikan hanya sebagai lembaga admnistatif. Justru lembaga adat terpisah dari lembaga Negara maka ia akan lebih kuat. Justru sebaliknya, jika bergabung ia akan tidak punya gigi. Mengenai MRP, sebenarnya tidak perlu menjadi lembaga yang kuat tapi bisa menjadi lembaga komunikatif. Kekuatan MRP menurut saya, karena di lembaga kenegaraan tidak dilihat sebagai lembaga politik. Kalau bisa, tamu Negara kalau bisa ketika datang tidak langsung ke Gubernur, tapi ke MRP. Untuk itu harus ada mekanisme mengenai tata hubungan. MRP sebenanya bisa mengeluarkan fatwa, misalnya masyarakat adat tidak boleh menjual tanahnya, saya pikir begitu. Untuk ibu ani, kita bisa diskusikan dan kembangkan kedepan. Soal representasi masyarakat adat, sebenarnya bukan ada di LMA atau yang lainnya tapi itu ada di struktur adat langsung. Saya pikir kalau ada yang mau mengintimidasi kita, mari kita lawan sama-sama saja.

Moderator

Dari semua ungakapan penanya. Dari Pak Kogoya, iamengusulkan kalau bisa kita kumpulkan semua elemen masyarakat di Papua untuk berdialog secara langsung. Ini satu catatan penting bagi kita. Dan selanjutnya kita langsung pada meja makan. Silahkan

TEMA:

TANAH, SATU KULTUR, SATU HATI

SUB TEMA : HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH DAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DI TANAH PAPUA DALAM ERA OTSUS

HOTEL SENTANI INDAH, 17 – 18 JULI 2009

Hari/Tanggal  : Sabtu, 18 Juli 2009

Pukul              : 10.30 WIT

Tempat           : Hotel Sentani Indah

MC (Frida T. Kelasin)

Baik, selamat pagi Bpk/Ibu peserta dan yang masih ada diluar untuk mengambil tempat, untuk kita mulai sesi I hari yang ke-2, teman-teman panitia untuk masuk ke dalam ruangan, baik bpk/ibu sambil menunggu peserta yang lain, saya mau mengingatkan kita pada proses yang akan kita lalui hari ini yaitu proses diskusi kelompok dan beberapa isu dan tindaklanjut dari hasil diskusi kemarin dan akan ada pleno yang kita lalui, hari ini kita akan melanjutkan beberapa persentase untuk sampai siang nanti, pada akhir dan pada sore nanti kita bisa lebih fokus untuk menindaklanjuti beberapa hal yang akan kita lakukan, baik kita akan melanjutkan untuk proses hari ini yaitu persentase dari Bapak Ketua MRP dan akan diwakili oleh Bapak Wospakrik dan pemateri berikutnya dari BPN Prov. Papua yang akan disampaikan oleh Bapak Eko Herry Subyanto, SH.MM dan ada juga dari Sawit Wacht Bapak Norman, baik kita akan mulai untuk hari ini dan moderator pak Toni Wakom.

Pak Toni (Moderator)

Baik bpk/ibu kita akan mulai untuk sesi hari ini sambil menunggu Bpk Eko dari BPN Prov. Papua dan untuk memulai hari ini yaitu dengan doa..

Doa..

Materi Sesi I

 

Moderator

Baik Bpk/Ibu saya akan buka acara ini dan kita akan mulai dengan pemateri pertama dari Pak wospakrik, saya akan mengingatkan kembali dari sesi kemarin yaitu ada perdebatan untuk peran MRP, yang dimana MRP harus kuat dalam menghadapi masalah masyarakat adat dan memposisikan MRP seperti apa nantinya, Pak Wos saya ingin sampaikan kemarin dari AMAN Pak Abdon Nababan menyampaikan bahwa posisi masyarakat Adat Papua sangat dihormati dengan baik, orang Papua harus membicarakan masalahnya sendiri, supaya orang Papua bisa menguatkan Adat dan Hutan mereka, ada masalah dari Adat maupun Hutan harus diselesaikan kembali ke masyarakat, baik kita akan mulai pesertase ini dari Bapak Wospakrik.

Bapak F.A Wospakrik (Wakil Ketua I MRP)

Terimakasih moderator bapak/ibu peserta lokakarya yang saya hormati terimakasih karena panitia telah memberikan kesempatan pada kami untuk bisa memberikan masukan pada lokakarya ini untuk bagaimana MRP dapat menjalankan tugas yang lebih baik kedepan, saya mohon maaf tidak sempat menghadiri acara pembukaan dan menyampaikan materi yang kemarin, namun saya akan menyampaikan pada hari ini. Suatu terobosan yang sebenarnya kita coba melakukannya dengan UU Otsus dengan Papua sebagai awalnya. Di Indonesia, kelompok Adat selalu di lupakan. Berdasarkan pengalaman orang Papua, Adat ditempatkan sebagai hal dasar dalam Masyarakat Adat. Disitu, ada kerinduan agar lembaga-lembaga struktur adat mampu dihargai perannya. Kita perlu pelajari itu lebih baik. Tapi saya bersyukur karena apa yang kita perjuangkan ternyata diakui oleh Dunia Internasional. Kita sebenarnya sedang dalam proses berjuang untuk pengakuan itu. Tadi Pak Tommy bilang bahwa masih banyak yang mempertanyakan bahkan ada yang mengusulkan agar MRP itu dibubarkan saja. Bapak dan ibu sekalian, dalam materi saya bahwa, warna dari UU Otsus dengan adanya konsekwensi dasar UU Otsus tersebut bertumpu pada 3 prinsip dasar didalam menjalankan pemerintahan di Papua. Pertama, keberpihakan (Affirmative), kedua perlindungan (Protection), dan yang ketiga adalah pemberdayaan (Empowerment). Semuanya saling terkait. Tanpa ketiganya sulit untuk kita menuju pada kesejahteraan. Kita coba lihat dari berbagai materi yang diberikan dengan mengaitkannya dengan rencana aksi nanti, Saya coba menjelaskan bagaimana perjalanan kita dari bangsa Indonesia sampai dengan kita lewati era reformasi yang dulunya feodalisme. Kita coba rumuskan apa yang menjadi hak kita yang harus kita kuatkan. Tidak sedemokratis yang dulunya berkembang, kemudian lahirlah reformasi yang salah satu kebijakannya adalah memberikan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan juga Aceh. Melalui UU Otsus ini maka ada komitmen yang disepakati yakni pertama UU Otsus ini diharapkan menjadi solusi karena selama ini adat diposisikan sebagai obyek saja, kini kita harus lebih memainkan peran bagi masyarakat adat dan ini proses yang sedang berjalan. Apa yang kita lakukan saat ini adalah untuk memberikan penguatan kepada kita. Tentunya masalah yang begitu kompleks dimana masalah ekonomi, pembangunan, dll.

UU Otsus diharapkan mampu menyelesaikan masalah yang multi kompleks di Papua. Ini akibat dari sistem yang salah di masa lalu dan selanjutnya kita ingin memperbaikinya. Otsus sebagaimana kita tahu sudah berjalan selama 8 tahun. UU Otsus sendiri baru berjalan saat tahun 2002. apa sebenarnya yang menyebabkannya dan bagaimana caranya agar Otsus bisa dijalankan secara baik. Terutama soal komitmen pemerintah pusat untuk memberikan kewenangan penuh bagi Papua untuk menyelesaikan masalahnya. Kita akan lihat apakah kita juga sudah konsisten untuk melaksanakan amanat UU Otsus itu sendiri? ini yang perlu kita perjuangkan untuk bersama-sama menjalankan amanah ini. Ini yang saya kira belum secara langsung dilaksanakan secara baik. Otsus sendiri masih menjadi kontroversi antara masyarakat dengan pemerintah. Masyarakat menganggap Otsus gagal sementara pemerintah menganggap sudah melaksanakannya. Menurut pendapat saya, apa yang menjadi penilaian masyarakat itu penting namun kita jangan sampai terus berkutat di persoalan saja tapi juga yang kita pikirkan adalah bagaimana kita mampu untuk menyelesaikan persoalan. Orang selalu memberikan perhitungan-perhitungan sampai dengan 8 tahun ini. Kalau ini berlanjut terus maka kita tidak akan mendapatkan apa-apa,  jika hal ini sampai selesai. Tidak ada itu Otsus hanya sampai 25 tahun saja kecuali jika UU-nya dicabut oleh pemerintah pusat. Namun ukuran yang selalu kita bilang bahwa otsus itu soal dana, dan ini yang disebut dengan capital sosial. Hampir 10 tahun sudah mulai teruji dan kalau kita hanya bergantung di dana tanpa penguatan ditingkat lokal sosial, maka 15 tahun berjalannya Otsus, kita tidak akan mengalami kemajuan dan kemudian mungkin mengalami penurunan apabila dana yang sebelumnya 70/30 menjadi terbalik. Bahkan akan menjadi masalah di 25 tahun akan datang ketika Otsus tidak lagi mendapatkan kebijakan dana. Jadi nilai sosial bisa ada jika kemampuan mengelolah masyarakat terus tumbuh. Kita harus membangun kapasitas kemampuan masyarakat karena uang tidak akan menjawab persoalan jika penguatan-penguatan terhadap masyarakat dalam pengelolaan SDA ini tidak berjalan baik, jadi, inilah gambarannya. Mungkin saya sendiri disini, tapi bagaimana supaya kita tidak berputar-putar saja tapi kita bisa lebih obyektif melihat persoalan secara menyeluruh kedepan. Salah satu cara untuk penguatan tersebut adalah dengan adanya MRP tadi. Memang kita bisa saja menjadi subyektif jika kita punya lembaga-lembaga seperti, DPRD yang kini dirubah menjadi DPRP tidak kita manfaatkan untuk membangun kemampuan kita kedepan. Apakah betul-betul MRP sudah melaksanakan fungsinya terkait keberpihakan ?. Kini kita masuk pada kewenangan MRP, Kita coba belajar melaksanakan tugas dan fungsi kita. Ini yang sudah kita exsplore berdasarkan UU Otsus. Pertanyaannya apakah pasal-pasal yang ada sudah berpihak pada masyarakat ? Saya rasa sudah. Pada waktu MRP ingin berpihak, dengan mengusung anak Papua untuk menjadi Pemimpin di negeri ini, banyak sekali yang menolak. Soal nanti ia berjalan, itu bagian dari tugas juga. Tapi ini soal hak politik dalam hal keberpihakan terhadap orang Asli Papua. Karena semangat keberpihakan, siapapun yang ditunjuk harus menjalankan sesuai dengan 3 prinsip tersebut. Kita hanya mampu melaksanakan tugas jika ada keberpihakan kepada kita. Pertanyaan masyarakat, apa yang sudah dibuat MRP. MRP hanya memberikan pertimbangan atas rencana yang dibuat oleh Gubernur dan DPRP. Kita sebisa mungkin melakukan keberpihakan kepada masyarakat dan sekarang ini sedang dibahas cukup panas di DPRP dan Gubernur, MRP masih dianggap tidak ada.  Setiap kebijakan pemerintah yang sudah jalan dan rakyat protes, baru kemudian MRP dicari, saya kira seperti itulah masalahnya selama ini.

Saya coba menyampaikan beberapa catatan tentang apa yang sudah dibuat oleh MRP, mungkin belum banyak yang kami lakukan tapi itulah kemampuan kami. Semua upaya ini kami sadar belum sepenuhnya menjawab persoalan. Struktur MRP ini juga harus terus diperjuangkan untuk dapat menguatkan peran MRP kedalam. Di halaman 4 itu, silahkan bapak ibu lihat dalam catatan saya. Kami sangat mengharapkan dukungan masyarakat kepada MRP. Kami kemarin, terakhir pada bulan maret, kami membuat keputusan tentang keputusan kultural untuk bagaimana melindungi hak-hak masyarakat Adat. Pada kesempatan ini kami sudah coba bicara pada Bupati di Sorong Selatan, Jayapura, dan juga kepada masyarakatnya. Ini juga rekomendasi kami kepada bapak-bapak jika menjadi Gubernur atau Bupati agar eksistensi masyarakat Papua berkembang dengan baik. Disinilah tugas MRP untuk juga meminta dukungan dari seluruh masyarakat Papua. Waktu saya sudah habis dan nanti kita lanjutkan dalam waktu yang lain. Terima kasih

Moderator

Terimakasih Pak Wospakrik, sekedar info bahwa dalam institusi politik seperti ini kita sulit memposisikan diri didalamnya. Ada satu materi bagus dari Pak Emil kemarin bagaimana kita melihat diri kita agar orang lain mau mengerti diri kita. Pihak lain melihat kita sepertti itu karena kita mau minta merdeka. Saat ini, kita ingin agar posisi MRP semakin kuat kedepan. Dapat pula kita jadikan contoh dalam beberapa hal di Merauke, yang mencontohkan bahwa dalam penataan tata ruang pemetaan dimana pada bagian  penjelasan yang menjelaskan tentang perlu adanya pengawasan MRP. Baik kita akan melanjutkan persentase berikutnya dari BPN Provinsi Papua tentang pengaturan tanah ulayat dalam hukum nasional yang akan disampaikan oleh Pak Eko, dan saya kira materi ini sangatlah penting bagi kita semua, Kepada Bapak Kami persilahkan.

Eko Herry Subyanto, SH.MM (BPN Provinsi Papua)

Salam sejahtera untuk kita semua dan selamat siang, yang saya hormati Bapak Wospakrik dan Pak Norman, sebelum saya mulai, mohon maaf Bapak Kakanwil tidak berkenaan untuk hadir karena ada urusan mendadak yang harus diselesaikan, saya sebagai Kepala Bidang Pertahanan Prov. Papua, tadi sudah disinggung tata ruang kota di Merauke oleh moderator hampir semua belum selesai namun Kota Jayapura sudah selesai namun belum maksimal, tapi dalam konteks ini saya mendapatkan undangan untuk tampil berbicara masalah Pertanahan Nasional sampai sekarang sudah ada Perdasus tentang Pertanahan, judul materi ini adalah Hak Ulayat dalam Hukum Nasional sesuai UU Otsus 2001 kita coba mulai dari awal ini kantor saya di Dok 9 yang dulu dikira markas pertahanan,  sampai ada pertanyaan bahwa apakah masalah pertanahan juga diselesaikan disini, judul yang dikasih Pak Kakanwil disini adalah Pengaturan Tanah Ulayat dalam Hukum Nasional sebagai pelaksanaan UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Bidang Pertahanan, pertama kita lihat dalam hukum Nasional sudah mengakui tanah adat, kita tahu dan harus yakin dan percaya yang dikatakan oleh Pak Wospakrik, keberadaan Tanah Adat dalam Hukum Nasional, diakui, dihormati dan dilindungi, hal ini nyata dalam perundangan yang telah disebutkan UUD 1945 di amandemen Ke II yaitu : pertama Pasal 18B ayat 2 yang menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang, terus yang kedua Pasal 28I ayat 3 adalah “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban” ada tiga pilar termasuknya adalah NKRI, selanjutnya turun sedikit dari TAP MPR-RI NO IX/MPR-RI/2001 Pasal 4 menjelaskan: Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip: Mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam. Dan ada pula didalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA Pasal 3 : Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2, Pelaksanaan Hak Ulayat dan Hak-hak serupa itu, dari masyarakat Hukum Adat, sepanjang kenyataannya masih ada. Harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan Kepentingan Nasional dan Negara yang berdasarkan atas Persatuan Bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan lain yang lebih tinggi. Pada Perda-Perda yang dicabut karena saling bertentangan, didalam Pasal 5 pun dijelaskan: Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan Kepentingan Nasional dan Negara yang berdasarkan atas Persatuan Bangsa dengan sosialisme Indonesia serta dengan Peraturan-Peraturan yang tercamtum dalam Undang-Undang ini dan dengan Peraturan Perundangan lainnya. Segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. dibenak pikiran orang Papua adalah pasal 5 ini, Indonesia mempunyai satelit yang hebat dan kita juga bisa  klaim karena kita membayar untuk mendapatkan informasi tersebut, sebenarnya selama ini kita melakukan sistim pertanahan yang berlaku adalah Hukum Adat sepanjang masyarakat Papua dapat mengerti dengan konsep masyarakat modern, segala sesuatu untuk berdasarkan hukum agama, didalam pasal 43 dimana implementasi UU Otsus Tahun 2001 ini merupakan Perdasus yang kami usulkan, mengakui, menghormati dan melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat Adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku, sedangkan hak-hak masyarakat adat meliputi: pertama Hak Ulayat masyarakat hukum adat, kedua Hak Perorangan para warga masyarakat hukum adat. terkadang disini kita kesulitan mendapatkan solusi dari masalah,  banyak persoalan ini karena terkadang tidak mengakui eksistensi diri masyrakat adat,  saya sudah mendapatkan informasi tentang masalah hukum adat internasional, bagaimana  pasal pasal 43 ayat 3 menerangkan bahwa dimana Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan. jadi sebenarnya pemerintah punya kewajiban tentang konflik masalah pertanahan jadi kita harus mempertanyakan hal ini, dimana letak hak ulayat tanah adat. Kita lihat selanjutnya Pasal 1 angka 1. PMNA/KBPN No. 5/1999: Hak Ulayat dan yang serupa dengan itu dari masyarakat hukum adat (Selanjutnya disebut Hak Ulayat) adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu, yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat dengan wilayah yang bersangkutan. tetapi bapak/ibu sekalian kita lakukan ini semua banyak kendalanya dengan penyelesaian tanah Ulayat Adat yang dituangkan melalui PMNA/KBPN No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masalah Hukum Adat dan diharapkan lahirnya Perda, kita mendapatkan pertimbangan dan persetujuan dari DPRP, Perda ini sebenarnya manfaat untuk orang Papua, kemarin Pak Marthen soal Perda tentang Kehutanan, namun hal yg paling penting adalah tanah dulu baru hutan, ada tanah dulu baru ada ruang. Maksud dari diterbitkannya PMNA/KBPN No. 5/1999 adalah Menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat, dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional.

Pengaturan lebih lanjut diwenangkan kepada daerah (Pemerintah Daerah) menurut peraturan yang berlaku (Pasal 6). tadi dikatakan benar-benar ada namun itu menyebabkan keributan, sekarang lihat dalam kondisi kita saat ini apa?, dimana tanah ulayat dan tanah adat sulit untuk memisahkannya kondisi saat ini: Tanah di Papua adalah Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Antar wilayah mempunyai struktur adat dan strata kewenangan yang berbeda-beda, Dari awal masyarakat adat mengenal adanya Pelepasan Tanah Ulayat sehingga sudah dikenal adanya tanah-tanah yang dilepaskan dari ulayat menjadi privat, Masih adanya Budaya Masyarakat yang tidak mampu bertahan di wilayah yang bukan tanah adatnya, sering kita meneliti tentang masalah ini, saya tidak tahu tentang Pak Wospakrik punya sertifikat tentang tanah adat atau tidak, begini maksudnya dimana transmigrasi lokal sehingga masyarakat adat tidak mampu bertahan, konsep pengaturannya adalah: Struktur Adat dengan Strata Kewenangan Dalam Struktur ditetapkan oleh lembaga adat dan diadministrasikan (Kampung, distrik), Letak dan Batas Tanah Ulayat ditetapkan oleh Lembaga Adat dan diadministrasikan pada lembaga pemerintah terendah (Kampung, distrik). Disini pun saya ingin menjelaskan tentang Pengaturan tanah ulayat meliputi: Ijin penggunaan dan pemanfaatan tanah ulayat, Pengalihan tanah / Pelepasan Tanah Ulayat, Perubahan Kepala Suku/Ondoafi dll, dalam struktur adat, Pengaturan hukum pewarisan tanah ulayat, ditetapkan oleh lembaga adat dan diadministrasikan pada lembaga pemerintah (Kampung, distrik).

Bagaimana kita berpikir tentang konsep pengaturan ini, pemerintah menyiapkan kampung, kadang-kadang begini kita berpikir bahwa kampung di Papua sama dengan kampung di Jawa, padahal dari pusat untuk kegiatan proyek dicari tentang kampung di Papua dimana dipresepsikan tentang jumlah KK di Papua lebih banyak namun kenyataannya adalah sedikit, Letak dan Batas Tanah Ulayat, tolong di ajarkan managemen di kampung oleh LSM, pengaturan tanah ulayat oleh lembaga adat meliputi: Ijin penggunaan/pemanfaatan tanah: Kewenangan Kepala Suku/Ondoafi, Kewenangan Kepala Suku/Ondoafi, Tanpa ada pelepasan tanah ulayat/ijin memakai, Untuk orang diluar warga adat diberikan jangka waktu untuk kembali ke ulayat (sewa kontrak), Pelepasan tanah ulayat, Pelepasan selamanya, Pelepasan sementara menggunakan jangka waktu, contohnya saya pusing melihat perang di wamena tentang pelapasan tanah adat di wamena, sehingga persoalan ini tidak bisa diselesaikan, kita percaya dengan satelit dan radar untuk melihat pertanahan ini, dan ini akan menjadi hak ulayat hukum masyarakat adat, dari dasar itulah disusun tentang peraturan daerah, Pengaturan Tanah Ulayat oleh Lembaga Adat didaftarkan dalam hukum pertanahan diberikan hak atas tanah yang dimana Pelepasan selamanya atau sudah menjadi hak milik, sedangkan Pelepasan Sementara sudah menjadi Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai. Dimana dijelaskan jangka waktu hak atas tanah sesuai dengan jangka waktu pelepasan tanah ulayat, jangka waktu ini yang belum diatur, kita bicara investasi dan gaya dan pola papua sehingga tidak menyalahi hukum internasional, Pelepasan tanah adat berdasarkan pengaturan oleh lembaga adat, boleh juga untuk ada peningkatan sumber daya alam, kalo hanya menunggu Otonomi khusus selama 25 tahun, pemanfataan dan hak pakai baik untuk masyarakat adat Papua, kegiatan yg akan dilakukan adalah Penelitian meliputi: Struktur adat, Strata Kewenangan, Pengaturan tanah oleh lembaga adat. Dalam pemetaan tanah ulayat pun juga ada letak tanah dari masing – masing suku dan batas tanah antar suku. Sedangkan Penyusunan Peraturan Daerah Yang Menetapkan Struktur adat dan strata kewenangan serta Pengaturan tanah ulayat dimana pengaturan ini pun melakukan  ijin penggunaan/pemanfaatan tanah, pengalihan/pelepasan tanah, perubahan personil dalam struktur adat, peraturan pewarisan tentang tanah. Semua ini dapat berkembang sesuai dengan kondisi riil di lembaga adat yang ada. dulu pernah selesai masalah adat di merauke yaitu suku moyu, bagaimana dengan pengaturan lembaga adatnya dengan letak tanahnya itu masing-masing suku kadang-kadang ada hambatan bukan itu tantangan bagi kita dan suku tersebut, pernah ada kasus dimana pelepasan tanah yang kami urus dicurangi keputusan oleh hakim memang pelepasan tanah tersebut milik ondoafi namun keputusanlah yang membuat pelepasan bukan milik ondoafi/kepala suku itu, sekarang bagaimana mengelolah tanah ulayat dengan cara memberdayakan masyarakat, warga masyarakat hukum adat dan memanfaatkan Tanah Ulayat untuk Pengembangan Ekonomi warga masyarakat hukum adat tersebut. Untuk mengelolah tanah ulayat didasari 3 konsep pembangunan diantanya pembangunan fisik, pembangunan manusia, dan pembangunan yang mendasari budaya yang ada, misalkan yang berkaitan dengan kegiatan warga masyarakat adat terkait dengan pemanfaatan tanah yaitu warga masyarakat hukum adat tidak merasa nyaman kalau mengelola bukan tanah ulayatnya, dan warga masyarakat cenderung masih mempunyai konsep berpikir sederhana dalam pemanfaatan tanahnya. Dalam pemanfaatan tanah masyarakat ada pula yang bentuk kegiatan pertanian, perikanan, peternakan yang dapat dikatakan tradisional. maka harus diindetifikasi tentang masalah ini pertama letakkan suku ini ditempat lain dan lakukan hal yg sama dengan suku lain, kalau hal ini terjadi pemerintah daerah tidak boleh diam ini menjadi perhatian kita bersama, mendasari konsep tersebut maka konsep penataaan tanah ulayat disesuaikan dengan kondisi letak dan luas wilayah dari tanah ulayat setiap komunitas warga masyarakat hukum adat, nantinya untuk masyarakat dapat terhitung fiktif 50 % pasti akan terjadi, apakah benar ini terjadi? sekarang pembangunan fisik Penataan tanah bagi warga masyarakat, dimana penataan lokasi perumahan, penataan lahan usaha (Pertanian, peternakan, perikanan dll), untuk kelestarian alam juga harus disertai penataan untuk hutan sagu, hutan alam tempat penyerapan air, dan hutan tempat usaha masyarakat dan lokasi untuk lahirnya investasi. kalau didaerah situ identifikasi dengan hutan dan sagu untuk di papua kadang-kadang tidak main sembarang saja untuk penataan lokasi tersebut, lokasi untuk lahirnya investasi apa yang dilakukan untuk pembangunan fisik berdasarkan tahapan kegiatan warga masyarakat dan hal yang harus dipedomani adalah hutan sagu harus lestari, diupayakan harus tetap ada tanah ulayat, kegiatan pemanfaatan warag masyarakat harus tetap pada tanah ulayatnya, pembangunan fisik harus disesuaikan dengan tahapan perkembangan warga masyarakat, untuk itu pembangunan warga masyarakat harus disertai melalui proses pembelajaran bagi masyarakat diikuti dengan pembinaan dan pendampingan. kalau suku adat mempunyai tanah maka itu menjadi hak ulayat dan terkadang salah mempresepsikan oleh masyarakat, memang dari BPN Provinsi Papua kita memberikan pembedaan terhadap lokasi hak ulayat, proses pembelajaran melalui kegiatan warga masyarakat yaitu petani perkebunan/tanaman pangan/holtikultura dan lain sebagainya, kita akan beri contoh dari petani tradisonal dia punya tempat namun dia tidak menempati tanah yang diberikan, DPRP akan memberikan sertifikasi hak ulayat dan kita akan bantu untuk pembangunan kampung tersebut, lama-lama pembangunan ini akan bermanfaat untuk masyarakat dan ada hasil petani yang intensif dan menjadi kerjasama untuk pemerintahnya sendiri dan itu menjadi sinergi dan dapat membayar pajak dengan baik dan itu sangat berpotensi, itu yang di darat contoh dipinggiran danau, menjadi petani tambak(keramba) dan menjadi petani keramba dengan usaha tani keramba, Pembinaan dinas terkait diantaranya program pembinaan, anggaran dan pelaksana/PPL dll. Dengan pendampingan lembaga sosial masyarakat yaitu program kerja dan anggaran, sekarang LSM yang dapat peduli dan berhasil dalam menyelesaikan masalah hukum hak ulayat masyarakat, kalau dalam LSM ada program dan evaluasi. Ini sudah penutup, konsep kegiatan tersebut merupakan Amanat UU No. 21/2001 tentang pemerintah daerah mengakui, menghormati dan melindungi tanah ulayat masyarakat hukum adat dalam bentuk pengakuan terhadap struktur adat, letak dan batas tanah ulayat dan ditetapkannya dalam Perda Kab/Kota, Pengelolaan tanah ulayat meliputi ijin penggunaan, pengalihan tanah tetap menjadi kewenangan lembaga adat (Komunitas warga masyarakat Hukum adat), dalam pengelolaan tanah ulayat tugas pemerintah sebagai pengadministrasian, Mendasari kegiatan lembaga adat terkait dengan pelepasan tanah ulayat tugas pemerintah melegalitaskan dalam hukum nasional untuk menjamin adanya Investasi, Dengan konsep pelepasan sementara, dan teradministrasikan, sebagai perwujudan perlindungan terhadap kelangsungan eksistensi tanah ulayat. Sedangkan tugas pemerintah daerah memberdayakan dan memanfaatkan tanah ulayat untuk peningkatan kesejahteraan warga masyarakat hukum adat. Disamping itu pula peran pemerintah adalah penataan tanah merupakan perwujudan dari konsep pengelolaan tanah ulayat untuk meningkatkan pemanfaatan tanah yang lebih efektif, kedua Mendasari kegiatan warga masyarakat merupakan konsep pemberdayaan untuk ditingkatkan melalui pembelajaran masyarakat dengan pembinaan dinas tehnis dan pendampingan, dan yang terakhir menjaga kelestarian lingkungan dan sumber-sumber kehidupan seperti hutan sagu dalam bentuk tanah ulayat, merupakan perwujudan untuk melindungi tanah ulayat. Dengan demikian bahwa tanah ulayat masyarakat adat dapat diselaikan dengan kerjasama dari berbagai unsur pemerintah, LSM dan masyarakat. Selesailah tugas kami untuk menyampaikan beberapa hal tentang Pengaturan Tanah Ulayat Dalam Hukum Nasional.

 

Moderator

Terimakasih buat Pak Eko dari Badan Pertanahan Negara Provinsi Papua yang bisa berbagi pengalamannya di mambramo dan merauke tentang penyelesaian masalah sengketa tanah ulayat masyarakat adat, bagaimana dengan proses penataan tanah ulayat masyarakat adat dan ini menjadi menarik untuk kita diskusikan nantinya. Baik kita akan melanjutkan materi dari sawit wacht yang akan disampaikan oleh Pak Norman Jiwan, kepada Pak Norman silahkan waktunya 15 menit.

Norman Jiwan (Sawit Watch)

Presentase-presentase saya mungkin tidak terlalu baik dengan presentase-presentase  sebelumnya. Saya di sawit watch. Sebelumnya saya kerja di WALHI Kalimantan Barat saya asli dari dayak yang tanahnya habis karena di mainkan oleh pengusaha-pengusaha presentasi saya kali ini dengan judul bagaimana posisi masyarakat adat dalam Roundtable on Sustainable Palm Oil, Presentasi ini akan saya persingkat. Saya terlibat dalam pekerjaan ini baru 5 tahun. Saat ini Indonesia sebagai produsen terbesar minyak sawit didunia dengan menghasilkan 18,37 juta ton pada tahun 2008. Dikuasai oleh 30 group (sekitar 700 anak perusahaan) Hanya dalam waktu 5 tahun (1999-2004) laju tanam mencapai 400-1000 ha per tahun pada tahun 2020 Indonesia memproduksi 40 juta ton CPO dengan basis makanan 30%, basis energi 50%, lain 20%, domestik 35%, dan ekspor 65% itu sekilas perjalanan minyak sawit di Indonesia. Tahun 2004 lalu sudah membuka 2,9 juta hektar untuk perkebunan sawit. Totalnya sudah 21 juta hektar sampai sekarang. Sebagai pendahuluan pertama mendorong adanya RSPO dan mengapa adanya RSPO disituasi negara produsen adalah kepunahan hutan secara masif  (18 juta ha. hanya 7.5 ditanam), keanekaragaman hayati punah, pencurian/perampasan tanah masyarakat adat yang dimana sebagian besar perkebunan bersengketa, kondisi pekerja buruk, resiko bahan kimia pertanian termasuk pestisida (khususnya perempuan), kemiskinan petani dan dominasi perusahaan besar. Hari ini perkebunan sawit Indonesia 50 % dikuasai oleh Malaysia dimana ada kampanye tentang situasi perkebunan sawit dalam kampanye efektif di terhadap pengecer (supermarkets), yang kedua pengecer merasa sangat rentan akibat dituduh membunuh orang utan dan deforestasi, perusahaan pengelolah barang konsumen merasa rentan terhadap boikot karna produk mudah diketahui, dan yang terakhir kesadaran konsumsi rendah dimana sangat khawatir tentang lemak bukan dampak di negara produsen. Inilah yang melatarbelakangi hadirnya RSPO yakni dengan adanya kampanye LSM kelapa sawit mengakibatkan konflik sosial dan persoalan lingkungan hidup dan diselesaikan dengan baik, tahun 2002 kerjasama informal antara WWF, Aarhus, Golden Hope, MPOA, Migros, Sainsbury, Unilever menjajaki kemungkinan membentuk RSPO, dan pada tanggal 21-22 Agustus 2003 RT1 di Kuala Lumpur dari 200 peserta di 16 negara penandatanganan SoI sebagai cikal bakal terbentuknya RSPO, dan tanggal 8 April 2004 RSPO secara resmi terbentuk dengan Sekretariat berlokasi di Kuala Lumpur pada bulan Desember 2006 RSPO terbentuk kantor perwakilan di Indonesia. Kemudian, mengapa momentum ini sangat penting. Terbentuknya RSPO karena dunia mengakui bahwa hal ini masih bermasalah. Walaupun tidak secara resmi mereka mengakui secara langsung. RSPO tahun 2004 resmi dibentuk dan berkantor pusat di Malaysia. Tahun 2006, RSPO membentuk perwakilan di Indonesia. RSPO memiliki anggota yang didistribusikan seperti dalam gambar. Anggota pertama adalah seperti dalam gambar dimana ada 265 anggota dari 70 perusahaan, 102 pedagang/pengolah, 42 perusahaan barang konsumen, 24 pengecer, 9 bank/investor, 11 LSM/NGO dilingkungan dan 9 LSM/NGO sosial. Juga ada 95 anggota afiliasi yang bukan sebagai anggota biasa. Apa yang diatur oleh RSPO adalah 8 prinsip, 39 kriteria, dan 130 indikator (mayor dan minor) sedangkan RSPO sistem sertifikasi yaitu berbasis verifikasi pabrik dan penyuplai (mill and supply) dan proses audit berbasis kinerja ada pula mekanisme penanganan keberatan/pelanggaran berbeda dengan audit ISO ada penanganan oleh anggota RSPO tentang keberatan bila terjadi pelanggaran disini saya coba menyederhanakan pembuktian standar ISO yang dimana Prinsip-kriteria-indikator-bukti okyektif dan norma merupakan standar ISO. Ada beberapa ketentuan yang diwajibkan RSPO yakni FPIC diantaranya: Kriteria 2.3 merupakan penggunaan tanah untuk kelapa sawit tidak mengurangi hak berdasarkan hukum, atau hak ulayat, atas pengguna lain, tanpa keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan dari mereka, dan Kriteria 7.5 tidak ada penanaman baru dibangun pada tanah masyarakat lokal tanpa keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan, yang ditangani dengan melalui suatu sistem yang terdokumentasi sehingga memungkinkan masyarakat adat, masyarakat lokal dan para pihak lainnya bisa untuk menyampaikan pandangan mereka melalui lembaga perwakilan mereka sendiri, sedangkan Kriteria 7.6 dimana masyarakat setempat diberikan kompensasi atas setiap pengambil-alihan lahan dan pelepasan hak-hak, tunduk pada keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan dari mereka dan kesepakatan-kesepakatan telah dirundingkan. Selanjutnya pedoman RSPO dalam dokumen yang sama dalam perjanjian internasional pada Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat tentang Bagaimana dengan kebun yang telah ada dimana tanah diambil tanpa persetujuan atau secara paksa?, Hukum internasional mengatakan manusia berhak atas pemulihan dan pengembalian dan RSPO menjelaskan kriteia 2.2 tanah tidak dalam status digugat seperti tidak ada konflik, kompensasi yang adil dan FPIC, menyelesaikan konflik sesuai dengan kriteria 6.3 dan kriteria 6.4 pada RSPO Kriteria 6.3 dan Kriteria 6.4 menjelaskan pula proses disepakati bersama dan sistem yang terdokumentasi terbuka bagi pihak terkena dampak, kesepakatan yang dirundingkan. Saya pikir, kalau kita mau afirmatif action maka tanah yang sudah diambil harus dikembalikan. Terkait dengan prosedur penanaman kebun baru. yang pertama adalah penilaian dampak, rencana implementasi, verifikasi lembaga sertifikasi resmi RSPO bahwa hasil kajian dan rencana komprehensif, mutu dan sesuai prinsip dan kriteria RSPO, pengumuman publik 60 hari dan 30 hari ringkasan pernyataan verifikasi tersebut, resolusi keberatan dan sengketa. Setiap pihak, dilanggar oleh penilaian atau rencana, atau ingin untuk memperkarakan pernyataan verfikasi, bisa mengejar melalui tatacara laporan dan sengketa RSPO yang bersangkutan. bagi ada masyarakat yang tidak setuju, maka masyarakat berhak membatalkan apa yang akan dilaksanakan. Berikutnya adalah mengenai pengaduan pelanggaran kepada RSPO yakni menjelaskan alasan mengapa keberatan dibuat, khususnya berkaitan dengan sistem verifikasi RSPO, selanjutnya disertai dengan bukti dokumentasi yang sesuai, menunjukkan langkah apa saja yang diambil untuk menyelesaikan permasalahan sebelum keberatan diterima, dan yang terakhir disampaikan langsung kepada Executive Board RSPO. Sawit watch dan RSPO sekarang dengan profil sebagai berikut menjadi anggota sejak 2004, bergerak dari prinsip ke praktek, memastikan RSPO tetap menjadi mekanisme kredibel dan bersih yang melindungi hak masyarakat dan lingkungan yang sehat, artinya lebih tegas dan cermat terhadap RSPO dan terus mengemukakan persoalan serta memperkuat peran untuk Sawit Watch diluar dan didalam RSPO serta dalam EB RSPO dan memperluas mitra dengan NGOs/CSOs/IPOs. Kemudian apa tanggung jawab Indonesia dan Hukum Internasional yaitu Ratifikasi dan terikat oleh Konvensi PBB diantaranya Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (IESCR), Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD), Sejumlah konvensi buruh (ILOs), Mendukung United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP), dan Otsus Papua.

Tolong ditambah 5 menit dari penjelasan akhir saya dan ini merupakan kesimpulan saya tentang RSPO & posisi masyarakat adat dimana RSPO adalah inisiatif bisnis dan pihak yang berkepentingan dengan industri minyak sawit, kedua prinsip dan kriteria RSPO mengakui hak masyarakat lokal, masyarakat adat, dan pengguna lain, ketiga masyarakat adat berhak untuk atau tidak menggunakan RSPO kelembagaan dan aturannya, keempat dimana perusahaan anggota RSPO wajib menjalankan prinsip dan kriteria RSPO dimanapun mereka beroperasi termasuk diwilayah masyarakat adat yang tidak mengakui RSPO dan yang terakhir negara bertanggung jawab melindungi hak konstitusi rakyat termasuk MA dan bertanggung jawab memenuhi konvensi internasional.

Rekomendasi saya, mengani RSPO dan masyarakat adat, ketika FPIC dijalankan maka pertama cabut atau tinjau ulang Permentan No. 26 tahun 2007 dengan ketentuan izin lokasi 100,000 ha dan minimal 20% untuk kemitraan dgn masyarakat, kedua tidak ada penanaman baru di hutan primer dan kawasan nilai konservasi tinggi (HCVF) sejak 2005, ketiga prosedur penanaman baru, mampukah MA memaksakan pemerintah propinsi dan pusat menolak rencana investasi kelapa sawit? dan terakhir kesimpulan saya adalah Greenhouse gas emissions (emisi gas rumah kaca) produksi minyak sawit dengan Cabut atau tinjau ulang Permentan No. 14 tahun 2009 ttg pemanfaatan gambut untuk kelapa sawit (3 meter). Demikian penyampaian materi saya Terimakasih

Moderator

Jadi, ada satu thema yang manis bagaimana mengelola tanah untuk masyarakat adat di papua. Pemerintah bertanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dan bagaimana menyelesaikan sengketa. Waktu kita sisa 30 menit karena panitia bilang kemarin karena terlambat sampai makanan jadi dingin. Kita coba kasih bobot dari debat yang kita sampaikan agar rekomendasi kita mampu memberikan kekuatan rakyat dan juga masih banyak masalah yang ada ditengah-tengah masyarakat. Oke, baik bpk/ibu saya kasih kesempatan untuk memberikan tanggapan saran, masukan maupun pertanyaan.

Anike  T. Sabami

Saya lebih fokus ke BPN dan Pak Norman, masalah pertanahan di Papua sangat rumit sekali. Saya pikir Otsus baru saja lahir. Tapi UU no 5 tahun 1960 sudah lama lahir. Menurut saya, sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN diatas sertifikat pertanahan, Saya tidak tahu kapan UU ini akan diamandemen. Kedua untuk Pak Norman, masalah kelapa sawit hasil pergumulan LSM sampai dengan MRP sepanjang belum tersosialisasi ke masyarakat maka masyarakat akan ikut saja apa yang diminta perusahaan karena mereka berfikir bahwa perusahaan ini akan memberikan mereka uang. Saya pikir ini mungkin kelapa sawit merusak tanah. Sehingga setelah selesai tanam sawit dan sawit mati kemudian tanah itu menjadi gersang. Boleh diberitahu atau tidak jika kita bilang bahwa kelapa sawit merusak tanah masyarakat adat.

 

Salmon Kambuaya

Terimakasih kepada narasumber. Kalau bisa materi-materi itu bisa dibuat dalam bentuk diktat. Mengenai tanah-tanah di Papua sebelum UU Otsus tahun 2001 dan sesudahnya. Sebagaimana kita ketahui bersama sebelum tahun 2001 dimana rezim orde baru, seluruh tanah di Papua dihabiskan untuk transmigrasi.  Untuk BPN apakah sudah dilakukan kajian untuk penataan tanah bagi masyarakat adat. Apakah Agraria tidak tahu bahwa orang-orang diluar Papua bisa buat sertifikat sementara kita yang punya tanah adat tidak bisa diberikan sertifikat. Syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi untuk mengurusi sertifikat. Siapa yang sebenarnya salah, masyarakat adat atau Agraria. Karena Agraria yang mengeluarkan sertifikat. Kelapa sawit, ketika ditebang maka akarnya itu akan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa ditanami tanaman lain.

Yermias

Selama ini saya mendengar dari rakyat Papua dimana kita memberikan saran dan kewenangan kepada pimpinan MRP, dan sejauh mana MRP dan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan ditanah Papua, investor masuk ketanah Papua ini berurusan dengan masyarakat adat, sejauh mana MRP menyikapi ini?, untuk Bpk dari BPN, tanah ini adalah ibu ada filosifi seperti itu bahwa tanah yang dikapling-kapling pun belum ada penyelesaiannya, pihak kepala sawit ada kerjasama dengan pemerintah dengan investor untuk membuat kelapa sawit, kalau ada hal yang terjadi seperti begini tolong diselesaikan.

Benny

Saya sampaikan terimakasih buat pemateri dari Pertanahan Provinsi Papua dan Sawit Watch, kami yang bekerja dengan DPRP dan MRP masih mengakui adanya bangsa ini, namun bagaimana dengan masyarakat adat yang sudah dirampas hak adat dan ulayat mereka? terus ada juga tanah transmigrasi yang dibuat pengelompokan dan sehingga pelaksanaan jalan serta TNI dan Polri bermain untuk membebaskan hak tanah tersebut, mereka merasakan bahwa Otsus hadir karena solusi dari masalah ini, untuk Bapak BPN Provinsi Papua untuk solusinya seperti apa? yang kedua soal kelapa sawit, di daerah Lereh/Taja Kabupaten Jayapura ada kelapa sawit belum dilepas namun ini membuat masalah bagi masyarakat setempat, dan kami mengundang PT Sinar Mas untuk menyelesaikan pertemuan tersebut namun mereka tidak hadir pada undangan MRP, mereka tidak menghargai undangan MRP, sehingga masyarakat berpandangan kami tidak dihargai untuk menyelesaikan masalah sengketa kelapa sawit, kira-kira tindakan bagaimana untuk mengatasi kepala sawit ini?

Moderator

Tidak ada tambahan karena waktu kita habis, saya akan tambahkan sampai jam 2 siang setelah itu kita istirahat untuk makan siang, saya berikan kesempatan untuk Pak Wospakrik untuk menjelaskan dan akan dilanjutkan nanti oleh kedua narasumber.

F.A Wospakrik (MRP)

Terkait dengan pertanyaan Pak Yerimias tentang keberadaan MRP bahwa masyarakat tidak mau mengakui tentang kedudukan MRP, beda tugas kami dengan DPRP karena DPRP plafon kerjanya dari politik namun MRP plafonnya adalah sebagi lembaga cultural, dan hasil ini kita berperan bersama untuk menata posisi MRP kedepan, saya berpikir kepada masyarakat untuk kritis terhadap MRP dalam bentuk penguatan lembaga, MRP adalah institusi resmi dalam Negara kita dan mengakomodasi tentang masalah orang Papua, hubungan antara itu merupakan salah satu faktor sehingga ini merupakan penyelamatan dan harus terus maju dan tidak boleh menyerah, MRP adalah merupakan lembaga kultural yang dirumuskan secara baik, kepentingannya bukan didasarkan dari politik namun dari kepentingan masyarakat yaitu adat, agama dan perempuan, MRP tetap harus bekerjasama dengan masyarakat dan pemerintah, MRP juga memberikan bobot dan mengambil kebijakan nantinya, hubungan kerja dengan kelompok masyarakat itu harus penting dan terkait dengan lembaga masyarakat adat, karena selama ini kita tahu hak legislasi untuk membuat Perdasus dan hak Budget dan Hak untuk control, MRP tidak berada pada wilayah itu karena bukan kewenangannya, namun MRP hanya memberikan persetujuan, dan memberikan hak pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat adat Papua, kedepan memang kita mengusulkan untuk mengurus pengawasan dan perencanaan, dan harus dilibatkan/diberikan kepada MRP, ini merupakan pergulatan kita, bahwa saya dari MRP yang berhubungan dengan masyarakat adat dan memperjuangkan hak orang Papua walaupun kita berbeda pendapat namun kita tetap satu dalam Papua, kita sedang berupaya untuk membicarakan hal ini dengan Gubernur Papua Barat sehingga hal ini bisa kita atasi, kami sedang bekerja untuk masalah masyarakat adat untuk Gubernur dan Walikota untuk partisipasi orang Papua dalam berbagai hal, kita semua berperan, LSM, Masyarakat, Pemerintah dan MRP untuk saling melakukan pemberdayaan dan perjuangan kepada masyarakat adat, kita bicara dengan Gubernur jangan mengambil investor tanpa sepengetahuan MRP, dan ini merupakan sistem yang dapat kita pertahankan bersama-sama.

Moderator

Dalam pandangan saya, apa yang diusulkan oleh BPN sudah sangat baik, terus ini lokakarya sehingga tidaksemua jawaban akan dijawab dan mungkin ada waktu yang lain.

Eko Herry Subyanto, SH.MM (BPN Provinsi Papua)

Perlu diketahui bahwa bukan fungsi BPN satu-satunya, ada hal yang perlu diketahui bahwa BPN masih menjadi instansi vertical didaerah. Hal yang sama dengan transmigrasi bukan buatan BPN tapi kebijakan nasional termasuk Papua. Itu masalah dengan pemerintahan Orde Baru. Terkait ada kebijakan Gubernur untuk transmigrasi tidak dilanjutkan dan tahun 1986 kemudian hal ini tidak diberlakukan lagi. Herannya, bidangnya masih berlaku. Saya melihat, transmigrasi yang hadir belakangan ini agak lebih baik karena tanahnya ada surat pelepasan, yang menggelitik saya hari ini dari Ibu Anike, menurut saya UU No 5 tahun 1960 masih menjadi pegangan positif karena itu diberlakukan nasional. UU Ini dianggap masih sangat relevan. Memang hukumnya bagus namun terkadang kebijakannya berbeda, saya sangat setuju. Kalau Perdanya sulit dan lama, menurut saya ada langkah percepatan dimana ada Perdasus tentang pengelolaan Tanah Adat. Kita selalu terlambat di lembaga legislatif. Supaya kita benar-benar berjalan sesuai dnegan UU No 21 tahun 2001, saya mau minta agar dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat produktif. Sebenarnya, ada kemasan yang bisa dibuat lebih bagus seperti misalnya sagu kalau dibuat oleh mama-mama dengan baik, itu enak sekali. Tapi kalau yang lain, mereka bisa buat tapi rasanya tidak terlalu enak. Pemerintah sudah mengakui, menghormati, melindungi tapi yang terpenting adalah yang keempat yakni mengelola dan kelima mengembangkan. Saya sepakat, kalau tanah adalah ibu tapi yang terbaik adalah bagaimana ibu itu memberikan yang terbaik buat anak-anaknya.

Untuk itu, kita harus mampu mengelolah seluruh potensi tanah dan mengembangkannya agar menjadi sarana produktif bagi masyarakat adat. Juga ada pertanyaan bagaimana kalau ada tanah yang sudah dijual, tapi yang membeli tidak mengelolahnya selama 10 tahun secara otomatis menjadi milik adat kembali. Selama ini, masalah tanah itu diberlakukan secara nasional sehingga hal itu sulit. Saya kira begitu. Untuk lanjutkan pemataan secara partisipatif tapi harus dibuat dengan kebijakan pemerintah sehingga itu bisa berjalan terus karena kalau mati, rugi dan sia-sia waktu bapak untuk itu. Terimakasih, salam sejahtera untuk semua.

Moderator

Saya berikan waktu untuk Pak Norman Jiwan

Pak Norman (Sawit Watch)

Saya berdo’a, apa yang disampaikan oleh Pak Eko semuanya benar. Tapi sesungguhnya saya sangat meragukan apa yang disampaikan oleh Pak Eko. Karena dua hal yang sebenarnya harus menjadi landasan. Terkait bicaralah jujur untuk konflik agrari, pak salmon dan dibaca dengan konvensi ILO dan terabaikan hak-hak mereka yang bukan anggota dan saya pikir saya setuju dengan itu, tanah yang sudah 10 tahun tersebut maka dapat dibebaskan dalam pengelolaan tanah selanjutnya, kalau terbukti korupsi harus dibuktikan dulu, soal pemetaan adat yang diakui oleh hubungan internasional dan merupakan hal yang pertama dan masyrakat adat pun tahu, Semestinya berkaitan dengan masalah untuk pemerintah dan MRP dan tentang kovensi baru yang akan dilakukan,  saya pernah hadir pada konvensi di Barcelona, nanti saya akan berikan nomor kontak Sinar Mas pusat kalau karena masalah tersebut tidak dapat diselesaikan. Saya pikir itu yang bisa saya sampaikan yang dimana kepentingan masyarakat adat harus dibangun secara adil dan bermartabat.

Eko Herry Subyanto, SH.MM (BPN Provinsi Papua)

Mengenai izin lokasi ada dipemerintah daerah dimana Bupati dan Walikota, itu semua akan mengalir secara pasti dan kita semua ikut sama-sama dalam membangun masyarakat adat yang jauh lebih baik, jadi keputusan masalah ini akan dikeluarkan oleh pemerintah untuk diselesaikan

Moderator

Kita tidak bisa menyalahkan BPN, MRP dan sawit wacth sehingga kita harus mendukung apa yang akan menjadi kewajiban kita sebagai masyarakat, terimakasih untuk narasumber kita, sekarang waktu sudah habis kita masuk untuk istirahat, dan kami mengharapkan peserta maupun panitia masuk jam 2..

Break Makan Siang 1 jam

Materi Sesi ke-II

 

Moderator

Baik kita akan mulai untuk sesi ke 2 ini dimana Persentasi materi pertama akan disampaikan oleh Sem Moko dari greenpeace PNG.

KEY PREPARATORY STEPS FOR COMMUNITY ECOFORESTRY:

sharing the PNG and Solomons experience 

by Sam Moko – Greenpeace Australia Pacific

 

Nama saya Sam Moko, saya bekerja di Greenpeace. Sebelum saya memulai presentasi saya, saya menyampaikan terimakasih karena bisa bekerja sama dengan semua dan bisa menghadirkan saya dan saya merasa ini kesempatan berharga. Saya akan berbagi pengalaman dengan teman-teman selama saya menjalankan tugas ini. saya minta maaf karena harus mempresentasikan materi ini dalam bahasa Inggris. Presentasi ini lebih terfokus pada masalah ekoforestry. Pertama saya mau sampaikan bahwa greenpeace bekerja sama dengan masyarakat sejak tahun 80-an. Kami bekerja untuk masalah tersebut karena ada reaksi karena adanya kegiatan logging tersebut. Fokus kami bekerja agar kami bisa memberi manfaat bagi masyarakat lokal. Tentunya ekoforestry bisa bermanfaat bagi masyarakat lokal. Ekoforestry ini mendapat sambutan dari masyarakat setempat juga LSM, lembaga donor dan lainnya. Sejak 1990-an kami memperkenalkan FSC agar produk-produk masyarakat bisa lebih bagus. Kami dapat pelajaran dengan apa yang kami dapatkan dengan teman-teman tentang pelanggaran yang terjadi kepada masyarakat. Kami menyadari bahwa partisipasi masyarakat sangat penting. Ada beberapa langkah dalam ecoforestry. Ada 4 yang saya coba jelaskan satu per satu.

  • Rationale and background for using preparatory steps and selection criteria
  • Preparatory steps for the Community
  • Preparatory steps for support partners
  • Checklist of Key Selection Criteria

Pertama alasan atau rasional dalam menggunakan langkah-langkah dengan menggunakan kriteria, kedua langkah-langkah untuk masyarakat, ketiga juga masyarakat lebih ditekankan untuk mengorganisir masyarakat. Masyarakat sangat tertarik pada ekoforestry tapi kami juga butuh dukungan dan jaringan. Kami juga telah membuat satu check list atau daftar mengenai kriteria hal-hal yang penting dalam melaksanakan kegiatan. Yang kami tanyakan mengapa langkah-langkah persiapan itu penting. Kami punya pengalaman dari PNG dan solomon yang jika tidak diikuti maka ekoforestry tidak akan berdampak signifikan atau gagal. Jadi presentasi ini kami sadar bahwa langkah persiapan sebagai dasar dalam bekerja dengan analogi kalau rumah tanpa pondasi yang kuat maka jika ada angin mudah roboh. Orientasinya proses dan menyiapkan untuk masyarakat. Orientasi proses itu dimulai perlahan dan langsung ke NGO dan dari bawah. Bisa dilihat bahwa ada 3 langkah dimana masyarakat terlibat sampai keatasnya. Kami mendorong masyarakat untuk proses ini mereka akan sampai pada kertasnya dan mendapatkan sertifikasinya.

Tahap awal sampai akhir akan ada logo atau sertifikasinya. Hal ini harus memenuhi syarat-syarat oleh NGO yang memenuhi kriteria untuk mengatur ini. Saya tidak menjelaskan disini karena terlalu panjang.

(Bagan Capaian):

 

Tapi intinya, akan ada logo yang menjelaskan bahwa memenuhi kriteria perdagangan. Jika Forcert ( Meets FORCERT Community Based Fair Trade requirements) menganggap bahwa ini sudah terpenuhi dan butuh kerja 16-18 bulan tapi pengalaman bisa lebih dari itu. Kalau sudah dilihat bagus maka Forcert akan memberikan proyek untuk lebih dilakukan lagi. Tetapi kalau dilihat disini ada sistem yang behubungan dengan pemerintahan dimana mereka akan memperlambat prosesnya apabila melebihi waktu diatas. Mengapa pemerintah memberikan kebijakan ini sangat terlambat lambat, karena mereka lebih senang dengan skala besar dan menganggap bahwa ekoforestry adalah skala kecil. Untuk merealisasikan ini harus melibatkan banyak pihak diantaranya masyarakat, NGO, Pemerintah. Gambar ini bagaimana masyarakat mengorganisir masyarakat dan melaksanakan bersama dengan masyarakat. Dan ini sangat penting. Ini langkah-langkah masyarakat dan dalam mengorganisasi masyarakat dibutuhkan assesment, rencana pembangunan, dan masyarakat ini yang kami sedang bekerjasama karena mereka tidak melakukan logging. Langkah berikut, perencanaan pengunaan lahan. Membuat batas-batas dan mengindentifikasi kawasan dan manajemen hutan secara bersama-sama dengan masyarakat. Ini hak-hak masyarakat atas hutan. Di PNG, 97% hutan dikuasai oleh masyarakat dan sisanya oleh pemerintah. Masalah yang sering dihadapi adalah soal kepemilikan dan diminimalisir untuk jangan sampai bersengketa. Pembagiannya juga berdasarkan keturunan. Sangat penting untuk mencari pemilik sebenarnya dari tanah. Bahkan ada yang keluarkan hak atas tanah namun yang punya tanah asli menolak dan ini dimanfaatkan oleh investor yang datang. Pengalaman mereka sering hadapi, perusahaan masuk mengambil tanah masyarakat melalui sengketa tanah antara masyarakat sendiri. Dengan cara itu, perusahaan mudah mendapatkan izin dari salah satu pihak yang bersengketa. Di PNG, konstitusi kami juga mengatur tentang Hak-hak atas masyarakat adat. Kadang terjadi persoalan dimana masyarakat mengatakan bahwa mereka punya tanah, sehingga tidak perlu untuk ada perijinan secara tertulis tapi dari dinas kehutanan tidak mau kecuali mengurus perijinan itu. Penting juga kawasan itu harus jelas untuk kawasan ekoforestry karena jika tidak maka tidak akan berguna bagi masyarakat. Gambar berikut ini, masyarakat merencanakan dan memetakan tata ruang. Mereka dari berbagai daerah yang berbeda yang berbatasan dengan dibantu oleh NGO secara bersama-sama. Kenapa penting mengundang teman-teman yang ada dibatas itu, karena jika tidak disepakati maka akan ada sengketa tanah antar masyarakat itu sendiri. Keterlibatan semua pihak tidak hanya pada tahap ini tapi banyak sekali tahap yang bisa melibatkan semuanya. Dari hasil pertemuan masyarakat, dihasilkan sebuah sketsa dimana masyarakat mengidentifikasinya dengan tanda-tanda tertentu.

(Gambar: Hasil Pemetaan Tataruang Yang Dilakukan Oleh Masyarakat Adat di PNG)

 

Ini kemudian dipakai oleh teman-teman NGO untuk membantu masyarakat. Ini bukan gambar final dan bisa ada waktu untuk mengumpulkan masyarakat lagi untuk melakukan penyempurnaan. Tidak saja masyarakat yang di organisasi tapi juga NGO dan masyarakat-masyarakat lainnya. Berikut ini adalah langkah persiapan kunci untuk bekerjasama dengan mitra secara teknis dengan masyarakat.

Mitra bisa melakukan merencanakan, memetakan silsila keturunan dan membantu masyarakat untuk mendapatkan izin. Disini sangat penting jika mitra membantu masyarakat untuk studi kelayakan untuk hasil-hasil hutan. Dari sini teman-teman NGO memahami bahwa hutan ini bisa dikelola dan juga diorganisasi. Penting juga melihat isu sosial budaya, bagaimana NGO bisa menjamin klen untuk menyamakan persepasi masyarakat agar tidak terjadi permasalahan. Harus ada Kelangsungan ekonomi dan jangan hanya berpikir untuk hanya mendapatkan uang tapi juga pemberdayaan dan pengembangan masyarakat secara kualitas kedepannya. Intinya, harus membangun program bersama. Di PNG, sebagai contoh dengan keahlian yang berbeda antara NGO, masyarakat dan partisipasi lain akan saling membantu untuk terciptanya ekoforestry. Jika pemerintah Prov Papua mau melakukan ekoforestry, bagaimana ekoforestry bisa lebih baik maka kita juga bisa bekerjasama dengan pemerintah. Disini juga ada permasalahan bagaimana hasil-hasil ini akan diangkut. Saya tadi sudah jelaskan tiga hal sebelumnya dan kita masuk ke yang keempat. Dari ketiga hal sebelumnya, ceck list penting adalah pertama pengorganisasian masyarakat, hak-hak masyarakat, Dari yang esensial ini, kira-kira apa yang akan didukung. Tanggung jawab NGO untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, juga bagaimana NGO mampu memberikan fasilitas peralatan dan ketiga bagaimana NGO juga membantu dalam hal dukungan financial. Pengalaman PNG, ketika kriteria ini terpenuhi maka ekoforestry masyarakat akan bisa berjalan.

Setelah itu, mereka membuat survey untuk inventarisir hasil hutan. Ini contoh portabel sanwmil yang dipakai di kepulauan solomon. Ini masyarakat melakukan sendiri dan mereka yang punya kayu. Kayu-kayu ini sudah di packing disini dan tinggal di ekspor ke Australia. Sekarang transportasinya yang sulit yang kemudian disiasati dengan menggunakan kerbau jika lewat darat dan penjualan secara lokal menggunakan transportasi laut. (gambar)

 
 

Dibawah ini, Ini salah satu contoh lelaki ini sangat sukses menghasilkan kayu untuk diekspor ke Australia dengan sudah diberikan label dari FFC. Ini kayunya sangat padat dan bukan dilakukan oleh perusahaan besar tapi oleh masyarakat sendiri.

 

Terimakasih.

Moderator

Kita langsung ke Bapak Yuyun dari Greenpeace Asia Tenggara

Yuyun Indradi (Greenpeace Indonesia – Asia Tenggara)

Terimakasih saya langsung saja, ini dari teman-teman greenpeace, secara umum saya ingin memperkenalkan sesuatu tentang yang kita lakukan selama ini oleh Greenpeace kita semua melakukan konfirmasi dan aksi damai misalnya untuk kepada Sinar Mas dll. tujuannya untuk menyelamatkan hutan dan kami tidak di danai oleh partai, yang selama ini kita pernah dengar dengan perubahan iklim yang terjadi pula di Indonesia dimana ada beberapa pula juga banyak yang terkena erosi pantai juga mengalami pasang naik tinggi dan usahan pesisir tergangggu, yang saya ingin tekankan terhadap perubahan iklim yang mengakibatkan dengan emisi global, hasil rumah kaca mengalami emisi terbesar dan Indonesia terbesar ke-3 di dunia, apa upayanya untuk mengurangi emisi dengan upaya adalah mengurangi bahan bakar industri (fosil) dan atmosfir tidak bisa menipu karena dihasilkan dari kegiatan manusia, dan beberapa negara maju dari dulu mereka melakukan emisi dengan sejarah ekologis mereka dengan memulai emisi duluan, okey dengan mengurangi emisi saya akan membeli carbon dan itu tidak akan mencegah emisi tersebut, dalam konteks itu kemudian terjadi perdagangan karbon dimana negara-negara yang mempunyai hutan, kemudian dari perlindungan itu Indonesia tidak siap masuk dalam perdagangan karbon, karena pasar membutuhkan hutan yang tidak boleh berkurang, karena ketika penjualan karbon tidak boleh berkurang sampai kontrak berakhir, kalau berkurang maka Indonesia akan membayar. Mencermatinya ada yang diperlukan dari pasar karbon emisi dari deportasi yang nyata dan tetap. Pembayaran itu hanya dilakukan jika hanya penebangan itu bisa dihentikan, dalam konteks ini dana hutan untuk Papua, maka konsensi untuk hutan di Papua harus dihentikan. ini juga berlaku untuk Aceh dan Papua, kenapa Aceh, karena Aceh bagus untuk Sumatra tapi Papua bagus untuk Indonesia, hutan tropis negara-negara maju itu juga perlu dibiayai dengan perlindungan hutan, dan menolak sistem pasar, yang ada. Sampai dengan 2015 itu diperlukan ratusan trilun rupiah untuk mengurangi emisi tersebut. Negara-negara maju tidak mau melepaskan emisi domestiknya, yang ingin kita usulkan adalah untuk menjaga bumi terhadap bencana, kita perlu mencegah emisi global yang memuncak sebelum 2015 negara-negara maju tidak bisa lepas tanggung jawab melalui offset, dana REDD di Indonesia ditingkat nasional bisa diterima di lima negara, yang kami usulkan untuk mekanisme pasarnya dan beberapa untuk masyarakat dan berapa untuk pemerintah, kita harus mulai dari tempat ini dan berpikir dan mencermati dana hutan papua merupakan implementasi kepada dana penyelematan hutan, kenapa kami usulkan karena kami menggangap mempunyai kelenturan tersendiri dari hasil perdagangan tersebut, akan lebih mengarah pada pengurangan emisi dan efek rumah kaca, dua usaha ini menjadi cukup signifikan dan tidak mengesampingkan untuk pengurangan kapasitas masyarakat dan pemerintah maupun NGO dan kapasitas tersebut untuk melakukan hal yang positif untuk Papua, dana yang cukup dan terjamin dan bisa di bilang bahwa masyarakat yang akan menyelamatkan hutan sangat membantu mengurangi emisi, dan sebenarnya pendanaan ini sangat sederhana, kemudian ini tidak akan berproses dan berbasis pada perdagangan, bisa juga untuk pemulihan hutan sekunder, seperti apa yang disampaikan Pak Abdon Nababan di Papua ini punya keanekaragaman hayati yang luar biasa, disini juga saya ingin menggambarkan struktur dana hutan Papua. (Gambar):

 

Dimana dukungan pihak kunci dan mitra-mitra inti, terutama Pemda Provinsi Papua, dapat menunjuk sebuah dewan dana multipihak dengan perwakilan-perwakilan organisasi kunci, dengan membangun kerangka kerja institusi termasuk pengaturan pembagian manfaat, integrasi Perdasus dengan hak-hak atas tanah, memperluas pendekatan-pendekatan ke donor-donor. persiapan lokasi dan masyarakat untuk wilayah pilot project/percontohan, penilaian dan monitoring atas Keragaman hayati, karbon dan kehidupan masyarakat, dan peluncuran Dana Hutan Papua di pertemuan UNFCCC Bangkok (September). saat ini kita masuk dalam dana untuk hutan Papua, (Gambar);

 

saya ingin menekankan kembali bahwa Greenpeace tidak dimana-mana namun bisa dimana-mana, Greenpeace ada dihutan amazone pun sama dimana juga membentuk pedagangan hutan, kemudian kita membentuk komite perdagangan hutan Papua kerja dan strukturnya dapat dilakukan dengan pelayan pada masyarakat adat. Ada juga iniasiatif di tingkat nasional kalau dana bisa diatur dengan baik maka dan akan masuk ke Provinsi juga dengan baik, kira-kira ini merupakan tiga fungsi yang baik untuk hutan Papua.

Disini saya mencoba menjelaskan tentang Papua Forest yaitu menyalurkan pendanaan REDD Internasional untuk mendemonstrasikan REDD di lapangan:

 

Bertujuan untuk  memastikan manfaatnya akan dinikmati di tingkat lokal dan pemilik wilayah adat, di integrasikan dengan perencanaan tataguna lahan dan kebijakan pemanfaatan hutan dari tingkat lokal sampai nasional untuk memastikan pengurangan yang nyata atas deforestasi dan degradasi, menjawab isu-isu teknis kunci seperti data dasar, kebocoran, ketetapan, tambahan dan standar kinerja, menciptakan dana terpisah untuk tata kelola hutan, fasilitas masyarakat dan pelayanan, perlindungan hutan dan usaha-bisnis masyarakat yang berhubungan dengan hutan. kemudian itu juga hal yang di informasikan dengan HPH dan konfirmasi karbon dan sebaiknya harus dikomuniksikan ditingkat nasional maupun propinsi, bagaimana kebocoran, dan penyerapan bisa di jaga, seperti yang tadi disampaikan dimana butuh waktu 1 tahun untuk di persiapkan dengan konsep yang jelas bersama stake holder untuk melakukan penggalian sumber dana, dan semua pihak di Papua untuk memulainya maka kita akan terus melakukan hubungan, dan membangun kerangka kerja dan baseline serta pengembangan kasapitas yang berhubungan dengan perencanaan dan pemetaan. Dukungan pihak kunci dan mitra-mitra salah satunya mungkin MRP, kemudian yang cukup penting adalah membangun kebijakan yang tidak boleh menyalahi  hak-hak atas tanah adat, dan juga persiapan lokasi dan masyarakat dapat memulai dalam pengelolaan hutan, misalnya Pak Yosep sudah memulai dan perlu didukung dan dikembangkan diseluruh Papua termasuk monitoring untuk emisi karbon yang ada di Papua, nanti bulan September di bangkok tentang masalah ini, mungkin ini bisa dibawa. Okey kiranya seperti begitu penyampaian dari saya.

Moderator

Ini ada 2 (dua) tawaran yang dimana nanti kita bisa diskusikan tentang skema FEDD apakah kita mau terima atau tidak. Banyak contoh dari Sam Moko dari PNG dimana tadi sudah dijelaskan. Ada yang ingin bertanya dan memberikan saran dan pertanyaaan..

 

F.A. Wospakrik (MRP)

Yang tadi dijelaskan tidak ada konservasi tentang hutan, bisakah ada upaya yang nyata dengan hasilnya seperti tadi dengan PNG didukung ke arah itu, untuk Sam saya ingin kamu menjelaskannya, okey thank’s..

Peserta

Terimakasih telah saudara Sam jelaskan, apa yg tadi bapak jelaskan bisa kami lakukan disini, bagaimana peran NGO dan pemerintah untuk menyelesaikan persolan tentang masalah yang disampaikan.., terimakasih.

Peserta

Persatuan dan kesatuan kultural untuk orang PNG itu bagaimana? Kami menghargai hukum berdasarkan aturan hukum itu dimana semua tahu namun praktek dilapangan sudah sangatlah susah dilakukan.

Arobi A. Aituarauw, SE.MM

Bagaimana peran Militer dan Polisi di negaramu soal pengakuan tentang hak-hak masyarakat adat?

Peserta

Usul untuk Pak Sam dimana Papua dan Papua Barat itu punya adat yang baik dan bagaimana kalau ada kerjasama antara Papua dan PNG?

Peserta

Ini adalah perusahaan bisnis dalam arti begini dia berusaha dalam hal menyerap pasar industri dan kemampuan kepada pasar industri untuk menyerap karbon, berapa banyak tentang ini tolong dijelaskan.

Edison Giay

Terimakasih saya hanya mau copi tentang penjelasan dari bapak yuyun dan skemanya juga baik dan masalahnya juga rumit, langkah apa yang harus dilalui?

Frida T. Kelasin

Baik terimakasih untuk bapak Yuyun ingin pendapat penjelasan apakah dapat kopensasi dari Internasional tentang wilayah-wilayah dan hutan lindung di Papua?

Pak Flores

Terimakasih atas waktu, bahwa disana PNG hutannya bisa dikelola, kalo disini HPH sudah diatur namun masyarakat tidak dapat mengelola, apa salahnya kalau pemerintah kasih langsung kepada masyarakat atau NGO?

Peserta

Terimakasih teman-teman dari greenpeace, masyarakat mau mendapatkan hutan dengan baik namun yang menjadi persoalan adalah apakah kita mampu dan yang berikut bagi teman yang dari PNG yng datang membawa pelatihan..coba dijelaskan tentang masalah hutan yang paling kompleks di PNG?

Peserta

Ada daerah-daerah untuk transmigrasi apakah itu ada konpensasi atau tidak?, dari teman dan dari PNG bagaimana peran polisi dalam menanggulangi masalah hutan di PNG?

Peserta

Bagaimana peran perempuan di PNG?

Sam Moko (Greenpeace Australia-Pasific)

Dampak sosial dari masyarakat ada, contohnya mendatangkan uang baik untuk program pemuda, kaum perempuan dan managemant yang baik terhadap ekoforestry, dampak sosial yang lain yang kurang bagus di semacam salah satu bos dimana uangnya hanya diberikan pada keluarga tetapi kepada masyarakat tidak sama sekali, umumnya pemerintah mendukung yang berskala besar dan yang lain tidak didukung, pemerintah tidak berpikir soal itu, namun peran NGO sangatlah besar, yang berikut mengenai kepentingan masyarakat dimana ada perusakan hutan dan masyarakat membawa ke pengadilan dan kasus ini tidak membuahkan hasil dan kembali untuk meningkatkan ekoforestry, persolan yang besar yang mereka lihat itu tidak mendukung ekoforestry, dan mereka tidak mendukung mereka membujuk ekoforestry bahwa tidak mempunyai uang dan mendapatkan uang kecil. Mengenai keterlibatan polisi dan militer ada kesamaan namun di PNG mereka tidak terlalu terlibat dalam urusan masyarakat dan hanya mereka dipakai untuk di perusahaan, peran NGO sangat kuat untuk menekan mereka agar tidak terlibat secara jauh, waktu tahun lalu keadaan HAM juga terlalu buruk namun keterlibatan NGO untuk menekan mereka dan beberapa tahun ini kondisi itu sudah membaik, disana juga teman-teman NGO sangatlah membantu sekali dan memberikan bantuan Hukum dan membantu masyarakat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Peranan dan status perempuan dulu kurang bagus, namun sekarang banyak aktivis perempuan.

Yuyun Indradi (Greenpeace Indonesia – Asia Tenggara)

Sangatlah mungkin dalam konteks masyarakat memanfaatkan hutan sangatlah produktif dan bisa lebih maju lagi, sampai perencanaan dan pengelolaan masalah hutan dapat diselesaikan, masyarakat Papua sendiri dapat mengindentifikasi seperti itu dimana dapat kita konsultasikan dan menjadi kesepakatan dan membagi wilayah ini mau menjadi apa saja, sementara pemerintah pusat nanti kalau sudah memiliki potensi untuk mendapatkan perdagangan hutan di Papua, kesemua pihak yang bersepakat dan dana komite terhadap kegiatan yang positif dan membantu menyelamatkan hutan Papua.

Moderator.

Demikianlah kedua narasumber ini menyampaikan materi, kiranya masalah ini kita akan di bahas dalam diskusi kelompok kita nantinya, kita istirahat untuk snack sore selama 15 menit setelah itu kita bagi kelompok diskusi.

Rehat  30 menit  (Persiapan Diskusi Kelompok)

MC

Baik bpk/ibu sekalian menunggu yang lain untuk dapat mengisi acara ini. Sebenarnya diskusi ini bisa kita selesaikan untuk 1 jam kedepan. Sebelum itu, diskusi kita dari hari kemarin sampai hari ini. Ada beberapa isu yang kita bangun. Pertama soal hak-hak atas tanah, kedua soal pengelolaan hutan dan ketiga, soal kebijakan dan terakhir soal pendanaan. Bukannya kita tidak mau bernostalgia dengan masa lalu, tapi kita coba untuk berfikir kedepan. Kita bagi menjadi 4 (empat) kelompok untuk diskusi dan hasilnya akan di Plenokan.

Terimakasih,

PANITIA

LOKAKARYA LAND TENURE DAN HUTAN PAPUA

MAJELIS RAKYAT PAPUA

KETUA,

 

ZAINAL ABIDIN BAY

LOKAKARYA LAND TENURE DAN HUTAN PAPUA

TEMA:

TANAH, SATU KULTUR, SATU HATI

SUB TEMA : HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH DAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DI TANAH PAPUA DALAM ERA OTSUS

HOTEL SENTANI INDAH, 17 – 18 JULI 2009

 

MATERI PERTANYAAN KELOMPOK I:

Pertanyaan :

  1. Apa yang harus dilakukan untuk memastikan hak masyarakat adat atas tanah, wilayah adat, dan SDA lainnya ?
  2. Siapa saja yang perlu membangun kerjasama untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut ?
  3. Siapa penanggung jawabnya (Pokja…?)

 

MATERI PERTANYAAN KELOMPOK II:

Pertanyaan :

  1. Apa yang harus kita lakukan untuk memperkuat kapasitas masyarakat adat dalam pengelolaan hutan (Kayu, Non Kayu, Karbon dan jasa lingkungan lainnya) ?
  2. Siapa saja yang perlu membangun kerjasama untuk melakukan kerja tersebut;
  3. Siapa penanggung jawabnya (Pokja…?)

 

MATERI PERTANYAAN KELOMPOK III:

Pertanyaan :

  1. Apa yang harus kita lakukan untuk memperkuat Otsus agar dpt memperbaiki kebijakan pertanahan di kehutanan Prov. Papua dan Papua Barat ?
  2. Siapa saja yang perlu membangun kerjasama untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut ?
  3. Siapa penanggung jawabnya (Pokja…?)

 

MATERI PERTANYAAN KELOMPOK IV:

Pertanyaan :

1). Darimana sumber pendanaan untuk membiayai pemulihan hak-hak masyarakat adat dan pengelolaan berbasis masyarakat adat di Papua

2).     Siapa saja yang bisa diajak untuk membangun kerja sama dalam   menggalang pendanaan

3).     Siapa penanggung jawabnya (Pokja) ?

 

 

 

 

 

 

 

  1. A.     HASIL DISKUSI KELOMPOK I:
    1. Apa yang harus dilakukan untuk memastikan hak masyarakat adat atas tanah, wilayah adat, dan SDA lainnya ?
  • Pemetaan wilayah masyarakat adat;
  • Pemetaan struktur kekerabatan;
  • Kelembagaan asli;
  • Kearifan dan pengetahuan lokal:

–     Seni suara

–     Seni pahat

–     Seni tari

–     Seni lukis

–     Seni anyaman

  • Menghidupkan kembali aturan adat yang masih ada
  • Sistem religi
  • Sistem pemerintahan adat (Bigman, Andoafi, Kerajaan dan Campuran)
  1. Siapa saja yang perlu membangun kerjasama untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut ?
  • Pemerintah, pemerintah provinisi dan kabupaten/kota
  • LSM
  • Masyarakat adat
  • Institusi/kelembagaan adat
  • Lembaga keagamaan
  • DPRP dan DPRD Kabupaten/Kota
  • MRP
  • Akademisi
  • Media cetak dan elektronik
  • Badan-badan PBB dan Lembaga-lembaga Internasional
  1. Siapa penanggungjawabnya (Pokja…?)
  • Kelompok satu merekomendasikan perlu dibentuk kelompok kerja masyarakat adat disetiap kabupaten/kota di seluruh provinisi Papua dan Papua Barat
  • Penanggungjawab : MRP

 

  1. B.      HASIL DISKUSI KELOMPOK II;

       PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT ADAT;

  1. Apa yang harus kita lakukan untuk memperkuat kapasitas masyarakat adat dalam pengelolaan hutan (Kayu, Non Kayu, Karbon dan jasa lingkungan lainnya);
  • Memperkuat Kapasitas Masyarakat Adat:
  1. Identifkasi masalah
  2. Analisa Masalah
  3. Pendataan Masalah
  4. Revitalisasi Peran Organisasi Sosial Masyarakat
  5. Pemberdayaan Terfokus
  1. Siapa saja yang perlu membangun kerjasama untuk melakukan kerja tersebut;

       Lembaga Mitra:

  1. Pemeritah;
  2. NGO’s/LSM local, Nasional, Internasional;
  3. Lembaga Agama;
  4. DPRP;
  5. DPRD Papua Barat;
  6. MRP;
  7. DPRD Kabupaten/Kota;
  8. Aman;
  9. Antar Masyarakat Adat;
  10. Badan-badan PBB/PNG sebagai Negara Sahabat.
  1. Penanggungjawab:

–          Masyarakat dan Lembaga Adat

HASIL DISKUSI KELOMPOK III:

KEBIJAKAN

 

1. Apa yang harus kita lakukan untuk memperkuat Otsus agar dapat memperbaiki kebijakan pertanahan di kehutanan Provinsi Papua dan Papua Barat?

1)      Moratorium pemberian izin pengelolaan hutan dan jual beli tanah Adat untuk keperluan apapun juga

2)      Sosialisasi Perdasus yg berkaitan dengan tanah, adat dan hutan dan SDA lainnya

a. Perdasus tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum adat dan perorangan

b. Perdasus tentang perlindungan & pengelolaan pemanfaatan SDA masyarakat

c. Perdasus ttg pembangunan Hutan berkelanjutan di Papua

3)  Pemda Prov. Papua Barat mengundang 3 (tiga) perdasus ini dalam peraturan Gubernur di Papua Barat

4)  Pemda Kabupaten/Kota membuat Perda Kab/Kota dengan mengacu kepada ke-3 Perdasus tersebut

5) Pemda Kabupaten/Kota  membuat Perda tentang pemetaan wilayah hukum adatoleh masyarakat setempat

  1. Siapa saja yang perlu membangun kerjasama untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut?
  1. MRP
  2. DPRP
  3. DPRD
  4. Gubernur
  5. Bupati/Walikota
  6. LSM
  7. Perguruan Tinggi
  8. PERS
  9. Masyarakat Adat

10.  Lembaga Keagamaan

11.  Aparat Keamanan (POLRI)

3. Siapa yang penanggung jawabnya (Pokja)?

1)      Gubernur (Papua-Papua Barat)

2)      DPRP + DPRD Papua Barat

3)      MRP

4)      LSM + LEMBAGA2 ADAT + LEMBAGA AGAMA

5)      DPRD Kabupaten/Kota

6)      Bupati/Walikota SE-Tanah Papua

7)      Dewan Adat Papua (DAP)

8)      Kepala Distrik

9)      Kepala Kampung

 

HASIL DISKUSI KELOMPOK  IV

PENDANAAN

Pertanyaan :

1).  Darimana sumber pendanaan untuk membiayai pemulihan hak-hak masyarakat adat dan pengelolaan berbasis masyarakat adat di Papua

Sumber pendanaan berasal dari:

  • Non Government Organisation (NGO);
  • Pemerintah Norwegia;
  • Pemerintah Belanda;
  • Pemerintah Indonesia.

Sumber Pendanaan:

 

  1. A.     INTERNASIONAL
    1. Pemerintah Norwegia

–     RFN

  1. Pemerintah Belanda

–     HIVOS, NOVIB, ICCO, IUCN-NL

  1. Pemerintah Inggris

–     DFID

  1. UNREDD
  2. Pemerintah USA

–     USAID, FORD  FOUNDATION

  1. Pemerintah New Zealand

–     NZAID

  1. Pemerintah Australia

–     AUSAID

  1. Pemerintah Swedia 

–     SIDA

  1. Pemerintah Canada

–     UDA

10.  Pemerintah Jerman

–     EE2

NASIONAL

1.Pemerintah Indonesia

            – DEP HUT RI

            – PATNER SHIP

            – MFP

            – GEF

            – WWF

            – KEHATI

            – Pemerintah Daerah

  1. SIAPA SAJA YANG BISA DIAJAK UNTUK MEMBANGUN KERJA SAMA DALAM MENGGALANG PENDANAAN

      TSI

      GREENPEACE

      THE SAMDHANA INSTITUTE

      FOKER

      AMAN

      SAWIT WORHT

      MRP

      LBH

      WALHI

      WWF

      DPRP/DPR

  1. SIAPA PENANGGUNG JAWAB

      FOKER

      MRP

      DPRP

      PEMERINTAH DAERAH 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MATERI SESI DISKUSI KELOMPOK

Pak Lindon

Menurut saya kalau penanggung jawab adalah masyarakat hal tersebut belum jelas. 

Moderator

Kira-kira kelompok 2 punya solusi ?

Kelompok II

Meurut saya yang paling bertanggung jawab adalah MRP, tapi tadi saya yang pimpin makanya saya tidak mau bilang.

Moderator

Untuk memperkuat kapasitas perlu ada pengorgansasian. Ada banyak tersembunyi dalam point-point ini. Soal siapa yang bertanggung jawab saya pikir sudah jelas. Terimakasih. Siapa yang menjadi corong bagi kelompok III.

Kelompok III

Ada pertanyaan yang diberikan kepada kelompok III yakni apa yang harus kita lakukan untuk memperkuat Otsus agar dapat memperbaiki kebijakan pertanahan di kehutanan Provinsi Papua dan Papua Barat. Jawabannya adalah (slide kelompok III)

Sosialisasi merupakan yang paling mendasar karena itu memang penting.

Peserta

Saya sepakat dengan moratorium namun perlu ada penambahan tentang penebangan hutan.., banyak sekali penambahan penanggungjawabnya?

Terimakasih karena satu kelompok oleh karena itu kami menaruh banyak.

Kelompok III

Dua hal yang saya dapat dari izin penebangan hutan karena tanah adat dalam pertanahan Soal penanggungjawab karena semua harus masuk dalam penanggungjawab.

Pak Abdon

Kalau penanggungjawab disni banyak sekali dan banyak agendanya dan harus bisa diajak kerjasama dengan baik dan diajak dengan duduk bekerjasama melihat masalah ini.

Moderator

Barang ini harus berjalan dengan cepat..

Pak Aroby

Yang jadi masalah karena ini menyangkut hutan dan harus disertai pemerintah..

 

 

Pak Wospakrik

Kalau ini berbicara tindaklanjut memang harus disertai lembaga-lembaga yang dapat bekerjasama

Peserta

Kalau tidak moratorium lahan gambut, maka Indonesia tidak akan merasakan emisi karbon..

Kelompok IV

Kelompok IV dapat pertanyaan

Khusus untuk peraturan Perdasi dan Perdasus akan dibahas dalam penangungjawab.

Moderator

Sebenarnya tidak ada, perubahan yang mendasar dalam hal ini, kalau sekian banyak lembaga ini harus banyak di Papua kalau mengaksesnya itu susah dan bukan sekedar untuk menulis saja dan bagaimana untuk kepentingan masyarakat. Dan kalau ada semua disini lima tahun terakhir ini, saya pikir itu dan menjadi pekerjaan ekstra

Pak Abdon

Saya bisa menambahkan soal penambahan dana, Foker dan MRP menjadi Pokjanya

Peserta

Kalau kita tidak melibatkan mereka maka ini tidak akan terjadi.

Kelompok III

Tidak ada lembaga-lembaga professional yang dapat bertanggungjawab dengan bekerjasama dengan LSM yang ada.

Moderator

Saya sudah mencatat tentang usulan dan saran untuk menindaklanjuti dan dengan hasil ini kita akan bicarakan lagi dan dikonkritkan.., dengan demikian saya sampai disini.

Pak Wospakrik

Perlu disampaikan kepada MRP dan ditandatangani sebagai kesepakatan tentang diskusi ini.

Moderator

Supaya tidak repot ada MRP, Foker dsb

Pak Wosparik

Perlu ada suatu batas waktu kerja..

 

Pak Lindon

Panitia akan kerja 1 minggu kedepan untuk mengkristal tentang masalah ini dan membuat laporan, waktu kita serahkan kepada panitia.

Panitia (MC)

Bapak/ibu peserta yang kami hormati kita telah samapai pada penghujung acara ini dan kita akan menutup acara ini.

Kepada Yth, Bpk Wospakrik, dan lembaga2 LSM lainnya..

Ini sebuah masukan dan sebuah wacana yang sangat berharga MRP kedepan dapat bisa mengatasi masalah ini kedepan bagi kami MRP ini merupakan jalan tikus yang kita temui dan ini merupakan sebuah harapan yang besar dan semangat baru untuk kita semua, dan memberikan kesempatan pada lokakarya, kami persilahkan pada Bapak Wospakrik..

Sambutan Pak Wos

Selamat malam untuk kita semua, kita bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena kegiatan ini dapat berjalan dengan baik dan sebentar lagi kita akan tutup acara ini, saya tidak mengikuti sejak hari pertama, namun kita menyadari betul tentang masalah dan kita selesaikan bersama, dan kita menyadari masalah yang kita kerjakan dan barang kali ini menangani dan memperbesar hak-hak dasar masyarakat adat di Papua ini, banyak pikiran-pikiran yang diberkan oleh pada narasumber, MRP menyadari betul sampai saat belum menjadi tempat menyelesaikan masalah orang Papua, dan menghargai hak hidup mereka, kita tidak akan pernah berhenti berjuang untuk masalah ini, kita punya akses punya jauh untuk masalah ini sampai PBB ikut pun berbicara. Kita coba melihat dan memposisikan MRP kedepan jauh lebih kuat dan kali ini menurut kami sangat bermanfaat dan menata MRP kedepan jangan pesemis dan jangan menyerah, mari kita bersama-sama untuk menajadi lembaga yang lebih kuat lagi dan terimakasih atas bapak/ibu yang telah berpartisipasi pada kegiatan ini. Kita harus selesaikan pekerjaan ini supaya jauh lebih cepat. Terimakasih lagi kepada bapak/ibu sekalian mari kita bersatu dan maju kedepan dalam menghadapi tantangan, terimakasih Bapak Sam Moko dan salam buat kawan-kawan di PNG saya kira itu menjadi harapan kita semua, selamat malam saya akan menandai acara akhirnya dengan mengucap syukur pada Tuhan saya tutup acara ini. (pemukulan tifa)

MC

Terimakasih kepada bapak/ibu, kita menutup acara ini dan berucap syukur kepada Tuhan pada Tanah Papua yang begitu indah ini. Dengan menyanyikan lagu Papua secara bersama-bersama.


Actions

Information

Leave a comment